Friday, December 11, 2009

Menciptakan Quantum Leap Perbankan Syariah Nasional

Ada informasi mengejutkan soal perkembangan perbankan syariah dunia yang dirilis Asean Banker pekan lalu. Disebutkan bahwa aset perbankan syariah global sudah melewati angka US$ 822 miliar dan diprediksi bisa tembus US$ 1.033 miliar pada tahun depan.

Dari segi pertumbuhannya pun sangat mengesankan, yakni mencapai 28,6% dari posisi aset tahun 2008 sebesar US$ 639 miliar atau jauh meninggalkan pertumbuhan perbankan konvensional yang hanya 6,8%. Dibandingkan dengan periode 2007-2008, pertumbuhan industri ini masih 0,91% lebih tinggi.

Selain dikontribusi oleh negara-negara Timur Tengah, pertumbuhan pesat perbankan syariah global juga terjadi berkat sumbangan negara-negara seperti Malaysia dan Inggris. Saat ini, negara-negara Timur Tengah menguasai pangsa pasar 42,9% dengan 35,6% di antaranya dikuasai oleh Iran.

Malaysia mampu menguasai pangsa pasar 10,5% dan Inggris 2,5%. Dengan pangsa pasar perbankan syariah sebesar 18,8% dan asuransi syariah 7,7%, Malaysia kini menjadi pusat keuangan syariah terbesar ketiga di dunia.

Lalu, di manakah posisi Indonesia? Tidak ada dalam radar dunia. Itulah jawabannya. Kita boleh saja acuh dengan data-data itu tapi jangan sampai tidak kritis. Kenapa Malaysia sedemikian ngotot menjadi pusat keuangan syariah dunia. Jawabannya sederhana. Untuk bisa membiayai pembangunan negaranya.

Dengan menjadi pusat keuangan syariah dunia, Malaysia mendapatkan akses pembiayaan yang luar biasa besarnya, baik untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, memenuhi kebutuhan modal kerja perusahaan-perusahaannya, dan lain sebagainya. Ribuan bahkan triliunan dolar AS akan mengalir masuk dari negara-negara yang selama ini alergi dengan hegemoni Amerika Serikat beserta lembaga keuangannya.

Di mata Malaysia, menjadi pusat keuangan syariah dunia tidaklah sesulit ketimbang harus bersaing dan mengalahkan pusat keuangan ala Barat yang selama ini dikuasai oleh Singapura, Tokyo, New York, dan London. Oleh karena itu, berbagai insentif pun diberikan oleh pemerintah Malaysia. Hasilnya, sebanyak 62% dari total outstanding obligasi syariah dunia yang diterbitkan pada tahun lalu senilai US$ 94,7 miliar atau 331,5 miliar ringgit berasal dari Malaysia.

Bayangkan berapa besar aliran dana (capital inflow) yang masuk ke dalam sistem perekonomian Malaysia. Dana tersebut tentu saja bukan dana-dana hot money, yang hanya sekadar mampir membeli saham dan sertifikat Bank Indonesia.

Tawaran Insentif Berbagai Negara
Guna mewujudkan ambisinya tersebut, pemerintah Malaysia tidak segan-segan mengeluarkan insentif agar bank-bank syariah internasional bersedia membuka bisnisnya di Malaysia. Insentif tersebut, misalnya, pembebasan pungutan pajak pendapatan hingga 2015 bagi investor yang ingin mendirikan perusahaan sekuritas syariah dan menerbitkan surat-surat berharga syariah.

“Untuk memastikan percepatan pembangunan industri keuangan, termasuk keuangan syariah, pemerintah mengusulkan agar insentif pajak yang sudah berjalan diperpanjang hingga 2015,” ujar Perdana Menteri Najib Razak pada akhir Oktober lalu.

Selain itu, pemerintah juga membebaskan pungutan pajak 20% untuk instrumen pembiayaan syariah dan laba yang diperoleh perusahaan asuransi global. Malaysia juga membebaskan pajak untuk aktivitas sindikasi pembiayaan, trade financing, hedging syariah, termasuk investasi untuk analisa soal ekonomi, finansial, dan produk-produk syariah.

Di Inggris, pemerintah mengeluarkan Finance Act Tahun 2003 yang menghilangkan pungutan pajak ganda dalam aktivitas pembiayaan rumah secara syariah. Kebijakan ini kembali diperkuat dengan undang-undang tahun 2005 dan 2006 yang menjamin perlakuan pajak yang sama terhadap perbankan syariah. Terakhir, Finance Act 2007 mengatur soal pembebasan pajak sukuk.

Pemerintah Singapura juga menghilangkan pungutan pajak pendapatan dan GST (goods and services tax) aplikasi beberapa produk syariah serta mengatur tiga produk syariah tidak dikenakan pajak.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini memang belum ada lontaran visi yang jelas dari pemerintah ataupun Bank Indonesia mengenai apakah Indonesia akan dijadikan pula sebagai pusat keuangan syariah dunia. Meski belum ada visi tersebut, Indonesia perlu kiranya mencontoh kebijakan insentif yang diambil oleh pemerintah Malaysia, Inggris, maupun Singapura.

Direktur Perbankan Syariah Bank Internasional Indonesia (BII) Jenny Wiriyanto menilai, untuk lebih mengembangkan industri perbankan syariah di Tanah Air, keberadaan insentif sedikit banyak dapat memberi kontribusi.

“Insentif yang dibutuhkan oleh investor asing mungkin dapat berupa tax holiday sampai dengan jangka waktu tertentu seperti yang diberlakukan oleh pemerintah Malaysia untuk mengembangkan industri perbankan syariah,” jelas dia.

Langkah Terobosan
Selain insentif pajak, Bank Indonesia juga sudah harus memikirkan untuk bisa mengundang kehadiran bank-bank syariah internasional. Kehadiran dari bank-bank tersebut sangat penting mengingat skala bisnis dan jaringan mereka sehingga bisa memfasilitasi hubungan bisnis secara internasional.

Sejauh ini hanya HSBC Amanah yang sudah beroperasi di Indonesia. Jauh dibandingkan Malaysia yang sudah memiliki tiga bank syariah internasional, yakni Al Rajhi Banking & Investment Corp (Malaysia) Berhad, Kuwait Finance House (Malaysia) Berhad), dan Standard Chartered Saadiq Berhad.

Pentingnya kehadiran bank-bank syariah internasional telah disadari oleh Malaysia. “Jika kita ingin mengembangkan negara ini menjadi pusat hubungan internasional, maka sangat penting bagi kita untuk memiliki bank-bank internasional,” ujar Gubernur Bank Negara Malaysia Zeti Akhtar Aziz.

Ada baiknya BI mewajibkan bank-bank internasional yang sudah lama berbisnis di Indonesia untuk membuka layanan perbankan syariah. Kebijakan itu bisa juga diterapkan bagi bank-bank asal Malaysia dan Singapura yang sudah memiliki bank konvensional di Tanah Air, seperti Maybank, CIMB, OCBC, UOB.

Sebagai pemanisnya, BI harus dapat membujuk pemerintah agar dapat membebaskan pajak selama jangka waktu tertentu bagi bank-bank internasional yang akan membuka usahanya dengan status badan hukum lokal. Langkah ini bisa saja dilakukan mengingat Darmin Nasution pernah menjabat sebagai dirjen pajak dan Boediono kini menjadi wakil presiden.

Insentif juga harus diberikan bagi bank atau investor yang akan membuka lembaga untuk mendidik sumber daya manusia (SDM) syariah lokal yang berkualitas maupun riset-riset untuk mengembangkan produk-produk syariah. Langkah ini sangat diperlukan mengingat industri membutuhkan 15 ribu karyawan tiap tahunnya.

No comments:

Post a Comment

Please give your opinion about my articles..thank you very much..
For contact and talk with me please send me an email to
pendie77@gmail.com