Friday, December 11, 2009

Untung Ada (Jamsostek)…



Beberapa waktu belakangan ini ada yang menarik di layar kaca, yakni pariwaranya PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dalam iklannya itu, tampak sesosok pekerja berusia setengah baya yang memaparkan berbagai keuntungan jika ikut menjadi peserta.

“Ada Jaminan Hari Tua, Ada Jaminan Kesehatan, Ada Jaminan Kecelakaan Kerja,” ujar pria tersebut. Di akhir pariwara tersebut tercantum slogan Untung Ada Jamsostek.

Meski sudah berkiprah selama 32 tahun, peranan Jamsostek bagi kesejahteraan pekerja terasa belum maksimal. Manfaat Jamsostek sejauh ini baru terasa ketika pekerja mendapat musibah (opportunity after accident), misalnya ketika seorang pekerja meninggal dunia atau mendapat musibah kecelakaan kerja.
Pekerja yang meninggal dunia ketika bekerja mendapat santunan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berupa biaya pemakaman Rp 2 juta, santunan Rp 200 ribu/bulan selama dua tahun, dan santunan yang dibayarkan sekaligus kepada ahli waris berupa 60% dari upah bulanan dikalikan 80 bulan.

Manfaat santunan JKK sudah tidak diragukan lagi sangat terasa meringankan bagi segenap keluarga yang ditinggalkan oleh pencari nafkahnya. Demikian pula jika pekerja mendapat musibah kecelakaan kerja sehingga tidak mampu bekerja. Pekerja itu akan mendapat 100% upah selama 4 bulan pertama, 75% upah selama 4 bulan kedua, dan selanjutnya 50% upah.

Demikian pula halnya dengan santunan Jaminan Kematian (JK) yang diberikan Jamsostek sebesar Rp 10 juta, biaya pemakaman Rp 2 juta, dan santunan berkala senilai Rp 200 ribu/bulan selama 24 bulan.
Tentu kedua program ini sangat bermanfaat. Namun, seluruh manfaat itu baru terasa ketika pekerja mendapat musibah (opportunity after accident), suatu hal yang akan selalu dihindarkan oleh seluruh pekerja.

Mengoptimalkan JHT

Tinggal kini pekerja menggantungkan harapan kepada program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek. Sebab, kedua program Jamsostek ini tidak bernuansa ‘mendapatkan berkah dibalik musibah’ seperti layaknya Jaminan Kematian maupun Jaminan Kecelakaan Kerja.

Di sinilah Jamsostek dituntut lebih mengoptimalkan peranannya. Apalagi kian hari, tuntutan para pekerja terhadap hari tuanya semakin besar.

Manajemen Jamsostek harus mampu menjadi tempat sandaran bagi para pekerja untuk memasuki masa tuanya. Apalagi porsi iuran JHT sangat besar terhadap Jamsostek. Data keuangan Jamsostek akhir 2008 menunjukkan, kontribusi iuran JHT mencapai Rp 8,42 triliun, JKK Rp 976,16 miliar, JK Rp 453,46 miliar, dan JPK Rp 795,75 miliar. Pada periode yang sama, realisasi pembayaran JHT mencapai Rp 3,74 triliun, Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 292 miliar, dan Jaminan Kematian Rp 272,98 miliar.

Direktur Operasional Jamsostek Ahmad Ansyori pernah mengatakan, rata-rata pekerja pada akhir tahun memiliki saldo JHT di kisaran Rp 80 juta. Tentu angka ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa setiap pekerja pas hari tuanya akan memiliki uang sebesar Rp 80 juta karena tiap pekerja memiliki besaran gaji yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, manajemen Jamsostek harus mampu mengoptimalkan peranan JHT mengingat masa tua dari 27,9 juta jiwa pekerja tergantung kepadanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar hal ini bisa terwujud.

Pertama, Jamsostek harus mampu membuat pekerja yang telah memasuki masa pensiun lebih kaya secara finansial ketimbang ketika dia masih bekerja. Jangan sampai ketika seorang pekerja masih berusia produktif dapat memperoleh gaji bulanan Rp 8 juta namun ketika pensiun hanya memperoleh santunan Rp 1 juta tiap bulannya. Kepastian hal ini sangat penting agar pekerja yang telah pensiun dapat memanfaatkan dana JHT-nya untuk berwiraswasta.

Kedua, manajemen Jamsostek juga harus mampu memberi imbal hasil dana JHT di atas deposito, minimal 3-4% di atas rata-rata bunga deposito bank-bank papan atas. Untuk merealisasikan hal ini, Jamsostek harus mempunyai divisi investasi yang mumpuni dengan tim riset dan ekonom yang kuat.

Selama ini imbal hasil Jamsostek kepada peserta selalu di bawah deposito perbankan. Baru dua tahun terakhir ini, manajemen mampu merealisasikan imbal hasil di atas deposito. Pada 2007, besaran imbal hasil yang diperoleh mencapai 9,5% dan kemudian meningkat menjadi 10,10% setahun kemudian.

“Tahun 2007 imbal hasil Jamsostek 1,77% lebih tinggi di atas rata-rata bunga deposito bank-bank pemerintah berjangka setahun. Sedangkan tahun lalu 2,5% lebih tinggi,” ujar Hotbonar Sinaga, direktur utama Jamsostek.

Keberhasilan Jamsostek memberikan imbal hasil yang tinggi tentu akan menjadi ‘daya tarik’ tersendiri bagi para pekerja maupun pemilik perusahaan. Pasalnya, selama ini beberapa perusahaan besar tampak enggan mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta Jamsostek karena mereka sudah mendaftarkan ke dana pensiun. Bahkan, serikat pekerja Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menolak ikut serta karena mereka telah merasakan imbal hasil dana pensiun yang mereka pilih lebih tinggi ketimbang imbal hasil Jamsostek. Tantangan inilah yang harus dijawab oleh manajemen.

Ketiga, Jamsostek juga dapat memberikan insentif bagi pekerja yang tidak mengambil dana JHT-nya selama 10 tahun. Insentif ini bisa terus diperbesar jika sang pekerja tidak pernah mengambil dana JHT hingga 20 maupun 30 tahun dan baru mengambilnya setelah berusia 55 tahun (ketika memasuki masa pensiun). Hal ini pantas diberikan mengingat sesuai ketentuan, dana JHT bisa diambil pekerja setelah lima tahun menjadi pekerja dan sebulan setelah kena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Praktik memberikan insentif ini sudah umum dilakukan oleh berbagai perusahaan asuransi jiwa. Dengan memberikan insentif, dana kelolaan JHT Jamsostek bisa terus membesar sehingga hasil investasinya akan lebih optimal ketimbang jika dana kelolaannya kecil.

Keempat, Jamsostek harus membuka ‘pintu’ bagi pekerja yang ingin memperbesar dana JHT-nya. Praktik ini misalnya sudah diterapkan oleh Employee Provident Fund dengan memperkenankan pekerja maupun si pemberi kerja menambah kontribusi iurannya sebesar 2%. Tentu saja, pekerja yang ingin menambah kontribusi iurannya secara sukarela harus mendapat insentif, termasuk para pemberi kerja.

Pemeliharaan Kesehatan

Salah satu aspek kesejahteraan pekerja yang teramat penting adalah kesehatan. Setiap pekerja, meskipun masih berusia produktif, tidak akan mencapai level maksimal produktivitasnya jika yang bersangkutan sering sakit-sakitan.

Oleh karena itu, Jamsostek harus mampu menjadikan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dimilikinya sebagai pintu masuk untuk mensejahterakan para pekerja. Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar misalnya menilai, pelayanan yang diberikan Jamsostek masih minim.

Dia mencontohkan, belum semua rumah sakit yang ada di Indonesia dapat memberikan pelayanan dengan fasilitas Jamsostek. “Artinya, pelayanan harus ditingkatkan kepada peserta,” tandas dia.

Terkait hal ini, manajemen Jamsostek bisa mengupayakan agar semua rumah sakit besar dapat melayani peserta. Bahkan, kalau bisa jangkauan rumah sakit ini bisa menyebar hingga ke pelosok Tanah Air.
Dari tabel terlihat bahwa Jamsostek juga mendapat surplus dari iuran JPK sebesar Rp 209 miliar. Surplus ini mungkin bisa disalurkan untuk pengadaan peralatan rumah sakit khusus pekerja, seperti ambulans dan lain sebagainya.

Hal terakhir yang bisa dilakukan Jamsostek adalah bekerja sama dengan bank-bank untuk menyediakan KPR Pekerja dengan bunga khusus, katakanlah sebesar 10%. Kerja sama ini bisa berupa bagi hasil bagi bank sebesar 2% dan Jamsostek 8%. Dengan bunga KPR khusus ini, tentu upaya pekerja untuk mendapatkan rumah yang layak akan sangat terbantu. Dengan demikian, slogan Untung Ada Jamsostek benar-benar menjadi kenyataan. (Efendi-wartawan Investor Daily)

Tulisan ini dibuat dalam rangka The 3rd Jamsostek Journalism Award (JJA) 2009 dan berhasil menjadi juara pertama.


No comments:

Post a Comment

Please give your opinion about my articles..thank you very much..
For contact and talk with me please send me an email to
pendie77@gmail.com