110 Tahun BRI: Makin Kokoh Melayani Sektor Mikro*
Ibarat bangunan, semakin tua umurnya menunjukkan betapa kuatnya pondasi bangunan tersebut. Demikian pula halnya dengan Bank Rakyat Indonesia, yang hari ini, Jumat, 16 Desember 2005, telah berusia 110 tahun.
Bank yang berdiri 16 Desember 1895 di Purwokerto oleh Raden Aria Wirjaatmadja dengan nama Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Miliki Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia) merupakan bank pertama yang dimiliki Republik ini.
Sejak berdiri, Bank BRI tetap konsisten dengan pondasi awal ketika didirikan, yakni memfokuskan diri pada pengusaha kecil atau sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penyaluran kredit usaha kecil terus meningkat dari Rp 6,42 triliun tahun 1994 menjadi Rp 8,23 triliun tahun 1995, dan pada bulan September tahun 1999 telah membesar menjadi Rp 20,46 triliun.
Bahkan, data terakhir memperlihatkan, penyaluran kredit BRI bulan September 2005 telah mencapai Rp 71,899 triliun. Aset mencapai Rp 113,39 triliun, sekaligus menempatkan bank ini di posisi bank keempat terbesar di Indonesia.
Menjelang hari jadinya yang ke-110, dunia juga makin mengakui eksistensi BRI. Majalah The Bankers, edisi Juli 2005, yang berbasis di London, menempatkan bank rakyat ini di peringkat 8 dari 1000 bank di dunia untuk kategori Best Profit on Capital.
Dengan memfokuskan 80% portofolionya ke sektor UMKM, BRI kini tampil sebagai bank yang memperoleh net interest margin terbesar di Indonesia. Tercatat, dalam 5 tahun terakhir (2000-2005), NIM BRI terus bergerak naik dari 6,6% (2000), 7,64% (2001), 8,12% (2002), 9,54% (2003), 11,56% (2004), hingga bulan September 2005 sebesar 12,29%.
Dengan fokus pada bisnis mikro (plafon Rp 50 juta), BRI bak petani yang dengan sabar membesarkan tanamannya, yakni para pengusaha kecil agar terus berkembang menjadi pengusaha besar. Kesabaran BRI membuahkan hasil, karena tiap tahunnya, sekitar 1 hingga 2% debitor BRI unit telah naik kelas ke BRI cabang. Sebuah tanda bahwa bisnis pengusaha mikro itu makin berkembang. Terbukti pula pangsa pasar BRI di bisnis micro banking mencapai 80%.
Ke depan, BRI juga akan mengeluarkan skim baru untuk mengakomodir debitornya yang tetap ingin dilayani di BRI unit. Kedekatan emosional dan geografis membuat pengusaha mikro memang betah dengan layanan staf-staf BRI unit.

Bank yang berdiri 16 Desember 1895 di Purwokerto oleh Raden Aria Wirjaatmadja dengan nama Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Miliki Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia) merupakan bank pertama yang dimiliki Republik ini.
Sejak berdiri, Bank BRI tetap konsisten dengan pondasi awal ketika didirikan, yakni memfokuskan diri pada pengusaha kecil atau sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penyaluran kredit usaha kecil terus meningkat dari Rp 6,42 triliun tahun 1994 menjadi Rp 8,23 triliun tahun 1995, dan pada bulan September tahun 1999 telah membesar menjadi Rp 20,46 triliun.
Bahkan, data terakhir memperlihatkan, penyaluran kredit BRI bulan September 2005 telah mencapai Rp 71,899 triliun. Aset mencapai Rp 113,39 triliun, sekaligus menempatkan bank ini di posisi bank keempat terbesar di Indonesia.
Menjelang hari jadinya yang ke-110, dunia juga makin mengakui eksistensi BRI. Majalah The Bankers, edisi Juli 2005, yang berbasis di London, menempatkan bank rakyat ini di peringkat 8 dari 1000 bank di dunia untuk kategori Best Profit on Capital.
Dengan memfokuskan 80% portofolionya ke sektor UMKM, BRI kini tampil sebagai bank yang memperoleh net interest margin terbesar di Indonesia. Tercatat, dalam 5 tahun terakhir (2000-2005), NIM BRI terus bergerak naik dari 6,6% (2000), 7,64% (2001), 8,12% (2002), 9,54% (2003), 11,56% (2004), hingga bulan September 2005 sebesar 12,29%.
Dengan fokus pada bisnis mikro (plafon Rp 50 juta), BRI bak petani yang dengan sabar membesarkan tanamannya, yakni para pengusaha kecil agar terus berkembang menjadi pengusaha besar. Kesabaran BRI membuahkan hasil, karena tiap tahunnya, sekitar 1 hingga 2% debitor BRI unit telah naik kelas ke BRI cabang. Sebuah tanda bahwa bisnis pengusaha mikro itu makin berkembang. Terbukti pula pangsa pasar BRI di bisnis micro banking mencapai 80%.
Ke depan, BRI juga akan mengeluarkan skim baru untuk mengakomodir debitornya yang tetap ingin dilayani di BRI unit. Kedekatan emosional dan geografis membuat pengusaha mikro memang betah dengan layanan staf-staf BRI unit.
Direktur Utama BRI Sofyan Basir mengucapkan terima kasih atas kebersamaan seluruh nasabah dan stakeholder yang telah mendukung BRI hingga berusia 110 tahun. “Karena kami sadar tanpa adanya nasabah dan semua stakeholder, usia kami yang 110 tahun ini, tidak ada apa-apanya,” tutur Sofyan.
Bertambahnya usia membuat BRI berkewajiban untuk makin meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikannya. “Memberikan pelayanan terbaik, tentunya dengan tanpa henti-hentinya. Memberikan dorongan kepada seluruh karyawan dan karyawati BRI untuk bisa maksimal berbuat kebaikan kepada nasabah.”
Dengan memiliki 4.760 titik layanan, BRI bercita-cita memberikan layanan yang maksimal dengan menggunakan teknologi mutakhir. BRI juga akan terus memperluas jaringannya hingga mencapai 6 ribu kantor pada tahun 2009 mendatang.
Wakil Direktur Utama BRI I Wayan Alit Antara menambahkan, BRI kian dituntut transparan, terbuka, mematuhi aturan-aturan Bapepam dan mengikuti best practices industri perbankan, mengingat stakeholder BRI banyak berasal dari luar negeri. “Sekarang pasca go public, jarum jatuh pun kedengaran nyaring,” tutur Wayan.
Bank Rakyat Indonesia juga kian dituntut menjalankan tata kelola (governance) lebih baik dan menciptakan kinerja yang makin baik pula. Setiap tantangan harus mampu direspons secara baik, dan seluruh kebutuhan nasabah harus terlayani dengan fair dan kompetitif pula. Ke depan, BRI juga berusaha menata diri sebaik mungkin agar bisa digolongkan sebagai bank jangkar. “Tiada hari tanpa perbaikan,” tutur Wayan.
Sofyan dan Wayan tetap optimistis, Bank Rakyat Indonesia tetap bisa bertumbuh 20% tahun depan, meski pun kondisi makro ekonomi saat ini sangat berat. Pertumbuhan kredit tahun 2005 dan 2006 diyakini masing-masing bisa mencapai 24% dan 20%. Aset akan bertumbuh 10% pula. “Pertumbuhan kredit Rp 15 triliun dan dana tumbuh rata-rata 12%,” ujar Wayan.
Wayan memaparkan, Bank Rakyat Indonesia mempunyai potensi pertumbuhan fee based income yang besar, karena memiliki lebih dari 36 juta nasabah. Dengan nasabah menengah bawah sebanyak 30 juta orang yang memiliki 1-2 rekening saja. “Mereka belum terlalu banyak frekuensi penggunaannya,” ujar dia.
Konsep community banking yang dikembangkan manajemen BRI membuat bank ini makin kokoh di usianya yang menginjak 110 tahun. Dengan konsep ini, BRI mampu menjaga rasio kredit bermasalah di sektor mikro di bawah 2%. “BRI telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa,” ujar Sutardjo, wakil kepala divisi mikro BRI.
Harapan agar BRI meningkatkan terus pelayanannya juga diutarakan pemilik Ricky Jeans Khairuddin, Kandan pengusaha pembuat dandang dan M Bunyamin, pemilik Hotel Antik. Ketiganya mengaku sangat senang dengan pelayanan dari BRI.
“Para staf BRI tidak pernah meminta uang pelicin pada saya untuk pengurusan kredit,” ungkap Bunyamin dengan nada senang. Ketiganya merasa berutang budi kepada BRI yang telah menolong mereka untuk memajukan usaha masing-masing. Ketiganya mengaku tidak keberatan dengan suku bunga pinjaman yang diberikan kepada mereka sebesar 12-18%.
Sutardjo mengatakan, BRI berusaha setiap saat memberikan kemudahan prosedur dan mengutamakan kecepatan. Pengembangan produk juga terus dilakukan BRI. “Dari dulu selalu jemput bola, tapi sekarang lebih kencang,” ujar dia.
Corporate Uni
versity
Sebagai industri finansial yang tergantung kualitas sumber daya manusianya, Bank Rakyat Indonesia juga tidak melupakan pengembangan kualitas pegawainya. Hingga kini, BRI telah memiliki pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat), di Jalan Gatot Subroto Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Padang untuk melayani 36 ribu staf organiknya.
Menyadari pentingnya pengembangan SDM, manajemen BRI kemudian membentuk divisi pendidikan dan pelatihan tersendiri. “Kita punya gedung, aula, asrama dan infrastruktur yang memadai,” ujar Enny Dyah Ratnawati, kepala divisi pendidikan dan pelatihan BRI.
Kurikulum pendidikan dan pengembangan pun disusun dengan tujuh jenjang pendidikan dan 14 materi yang harus dipelajari. Materi manajemen risiko juga diperkenalkan sedini mungkin dan telah dimulai BRI sejak tahun 1998. “Tujuannya agar orang sadar ada budaya risiko,” tegas Enny.
BRI juga membentuk sejumlah assessment center berbasis kompetensi untuk menguji dan mengetahui posisi yang tepat bagi para pegawainya, apakah cocok di divisi operasional, konseptual hingga fungsional. Setiap tahun digelar juga forum peningkatan kerja dan creative marketing awards yang sudah berjalan 3 tahun terakhir.
Enny memaparkan, arsitektur pendidikan BRI diarahkan agar tiap-tiap pegawai mampu mengadakan penilaian akan kebutuhan pelatihan yang diinginkannya (self training need assessment). “Pelatihan kita gelar rata-rata dua kali per tahun dari ketentuan hanya sekali setahun bagi 36 ribu staf BRI,” jelas dia.
Tahun depan, BRI juga berencana menjadikan pusdiklat yang terletak di daerah Ragunan menjadi corporate university, terbuka bagi masyarakat umum. Universitas itu akan menciptakan tenaga-tenaga siap pakai di bidang perbankan. Selanjutnya akan diluncurkan e-learning pada 2007, dengan peluncuran perdananya pada bulan Desember ini.
Perkuat Informasi Teknologi
Di usianya yang ke-110 tahun, Bank Rakyat Indonesia juga tampil dengan teknologi yang maju. Dari jumlah jaringan sebanyak 4.760 titik, hingga kini yang sudah terkoneksi mencapai 85%. Manajemen BRI juga berencana mengkoneksikan 2 ribu outletnya di seluruh Indonesia pada 2006.
Kekuatan jaringan teknologi BRI terbukti andal, karena memang dibuat untuk melayani 20 juta rekening Simpedes yang rata-rata per rekening sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Sementara rekening Kupedes hingga kini telah berjumlah 3 juta rekening dengan pertumbuhan rekening mencapai 2,5% per bulan.
Saat ini, jumlah rekening yang sudah terkoneksi mencapai 27 juta rekening. Transaksi harian mencapai 9 juta kali. Apalagi, bila dilihat kondisi geografisnya, jaringan informasi teknologi BRI harus mampu mendukung tiga pembagian waktu Indonesia. “Kalau cabang-cabang BRI di Jayapura jam 7.30 sudah harus buka, waktu di Jakarta, kan masih 5.30 WIB. Nah, sistem kita harus sudah stand by pagi-pagi,” tutur Mohammad Irfan, general manager information systems technology BRI.
Dia memaparkan, BRI telah menyusun strategic plan IT periode lima tahunan, dari 1997-2002 (core banking), 2003-2007 (delivery channel), dan 2008-2013. “IT strategic plan adalah suatu keputusan yang sangat strategis,” ujar dia.
Dalam rencana strategis tersebut, manajemen BRI bertekad menghubungkan seluruh jaringan yang dimilikinya. Per tahunnya, jaringan BRI unit yang berhasil terkoneksi mencapai 300 unit. Hasilnya, jaringan BRI unit di Merauke, Natuna, Fak-Fak dan Nabire kini sudah terkoneksi secara on line. “Tahun depan kita coba seribu BRI unit,” ujar Irfan. Ditargetkan pada tahun 2009 mendatang, jaringan BRI sebanyak 4.760 titik telah terkoneksi on line seluruhnya. “Ini bukan, karena faktor persaingan, tapi sudah menjadi kebutuhan mutlak,” tegas Irfan.
Bertambahnya usia membuat BRI berkewajiban untuk makin meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikannya. “Memberikan pelayanan terbaik, tentunya dengan tanpa henti-hentinya. Memberikan dorongan kepada seluruh karyawan dan karyawati BRI untuk bisa maksimal berbuat kebaikan kepada nasabah.”
Dengan memiliki 4.760 titik layanan, BRI bercita-cita memberikan layanan yang maksimal dengan menggunakan teknologi mutakhir. BRI juga akan terus memperluas jaringannya hingga mencapai 6 ribu kantor pada tahun 2009 mendatang.
Wakil Direktur Utama BRI I Wayan Alit Antara menambahkan, BRI kian dituntut transparan, terbuka, mematuhi aturan-aturan Bapepam dan mengikuti best practices industri perbankan, mengingat stakeholder BRI banyak berasal dari luar negeri. “Sekarang pasca go public, jarum jatuh pun kedengaran nyaring,” tutur Wayan.
Bank Rakyat Indonesia juga kian dituntut menjalankan tata kelola (governance) lebih baik dan menciptakan kinerja yang makin baik pula. Setiap tantangan harus mampu direspons secara baik, dan seluruh kebutuhan nasabah harus terlayani dengan fair dan kompetitif pula. Ke depan, BRI juga berusaha menata diri sebaik mungkin agar bisa digolongkan sebagai bank jangkar. “Tiada hari tanpa perbaikan,” tutur Wayan.
Sofyan dan Wayan tetap optimistis, Bank Rakyat Indonesia tetap bisa bertumbuh 20% tahun depan, meski pun kondisi makro ekonomi saat ini sangat berat. Pertumbuhan kredit tahun 2005 dan 2006 diyakini masing-masing bisa mencapai 24% dan 20%. Aset akan bertumbuh 10% pula. “Pertumbuhan kredit Rp 15 triliun dan dana tumbuh rata-rata 12%,” ujar Wayan.
Wayan memaparkan, Bank Rakyat Indonesia mempunyai potensi pertumbuhan fee based income yang besar, karena memiliki lebih dari 36 juta nasabah. Dengan nasabah menengah bawah sebanyak 30 juta orang yang memiliki 1-2 rekening saja. “Mereka belum terlalu banyak frekuensi penggunaannya,” ujar dia.
Konsep community banking yang dikembangkan manajemen BRI membuat bank ini makin kokoh di usianya yang menginjak 110 tahun. Dengan konsep ini, BRI mampu menjaga rasio kredit bermasalah di sektor mikro di bawah 2%. “BRI telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa,” ujar Sutardjo, wakil kepala divisi mikro BRI.
Harapan agar BRI meningkatkan terus pelayanannya juga diutarakan pemilik Ricky Jeans Khairuddin, Kandan pengusaha pembuat dandang dan M Bunyamin, pemilik Hotel Antik. Ketiganya mengaku sangat senang dengan pelayanan dari BRI.
“Para staf BRI tidak pernah meminta uang pelicin pada saya untuk pengurusan kredit,” ungkap Bunyamin dengan nada senang. Ketiganya merasa berutang budi kepada BRI yang telah menolong mereka untuk memajukan usaha masing-masing. Ketiganya mengaku tidak keberatan dengan suku bunga pinjaman yang diberikan kepada mereka sebesar 12-18%.
Sutardjo mengatakan, BRI berusaha setiap saat memberikan kemudahan prosedur dan mengutamakan kecepatan. Pengembangan produk juga terus dilakukan BRI. “Dari dulu selalu jemput bola, tapi sekarang lebih kencang,” ujar dia.
Corporate Uni

Sebagai industri finansial yang tergantung kualitas sumber daya manusianya, Bank Rakyat Indonesia juga tidak melupakan pengembangan kualitas pegawainya. Hingga kini, BRI telah memiliki pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat), di Jalan Gatot Subroto Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Padang untuk melayani 36 ribu staf organiknya.
Menyadari pentingnya pengembangan SDM, manajemen BRI kemudian membentuk divisi pendidikan dan pelatihan tersendiri. “Kita punya gedung, aula, asrama dan infrastruktur yang memadai,” ujar Enny Dyah Ratnawati, kepala divisi pendidikan dan pelatihan BRI.
Kurikulum pendidikan dan pengembangan pun disusun dengan tujuh jenjang pendidikan dan 14 materi yang harus dipelajari. Materi manajemen risiko juga diperkenalkan sedini mungkin dan telah dimulai BRI sejak tahun 1998. “Tujuannya agar orang sadar ada budaya risiko,” tegas Enny.
BRI juga membentuk sejumlah assessment center berbasis kompetensi untuk menguji dan mengetahui posisi yang tepat bagi para pegawainya, apakah cocok di divisi operasional, konseptual hingga fungsional. Setiap tahun digelar juga forum peningkatan kerja dan creative marketing awards yang sudah berjalan 3 tahun terakhir.
Enny memaparkan, arsitektur pendidikan BRI diarahkan agar tiap-tiap pegawai mampu mengadakan penilaian akan kebutuhan pelatihan yang diinginkannya (self training need assessment). “Pelatihan kita gelar rata-rata dua kali per tahun dari ketentuan hanya sekali setahun bagi 36 ribu staf BRI,” jelas dia.
Tahun depan, BRI juga berencana menjadikan pusdiklat yang terletak di daerah Ragunan menjadi corporate university, terbuka bagi masyarakat umum. Universitas itu akan menciptakan tenaga-tenaga siap pakai di bidang perbankan. Selanjutnya akan diluncurkan e-learning pada 2007, dengan peluncuran perdananya pada bulan Desember ini.
Perkuat Informasi Teknologi
Di usianya yang ke-110 tahun, Bank Rakyat Indonesia juga tampil dengan teknologi yang maju. Dari jumlah jaringan sebanyak 4.760 titik, hingga kini yang sudah terkoneksi mencapai 85%. Manajemen BRI juga berencana mengkoneksikan 2 ribu outletnya di seluruh Indonesia pada 2006.
Kekuatan jaringan teknologi BRI terbukti andal, karena memang dibuat untuk melayani 20 juta rekening Simpedes yang rata-rata per rekening sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Sementara rekening Kupedes hingga kini telah berjumlah 3 juta rekening dengan pertumbuhan rekening mencapai 2,5% per bulan.
Saat ini, jumlah rekening yang sudah terkoneksi mencapai 27 juta rekening. Transaksi harian mencapai 9 juta kali. Apalagi, bila dilihat kondisi geografisnya, jaringan informasi teknologi BRI harus mampu mendukung tiga pembagian waktu Indonesia. “Kalau cabang-cabang BRI di Jayapura jam 7.30 sudah harus buka, waktu di Jakarta, kan masih 5.30 WIB. Nah, sistem kita harus sudah stand by pagi-pagi,” tutur Mohammad Irfan, general manager information systems technology BRI.
Dia memaparkan, BRI telah menyusun strategic plan IT periode lima tahunan, dari 1997-2002 (core banking), 2003-2007 (delivery channel), dan 2008-2013. “IT strategic plan adalah suatu keputusan yang sangat strategis,” ujar dia.
Dalam rencana strategis tersebut, manajemen BRI bertekad menghubungkan seluruh jaringan yang dimilikinya. Per tahunnya, jaringan BRI unit yang berhasil terkoneksi mencapai 300 unit. Hasilnya, jaringan BRI unit di Merauke, Natuna, Fak-Fak dan Nabire kini sudah terkoneksi secara on line. “Tahun depan kita coba seribu BRI unit,” ujar Irfan. Ditargetkan pada tahun 2009 mendatang, jaringan BRI sebanyak 4.760 titik telah terkoneksi on line seluruhnya. “Ini bukan, karena faktor persaingan, tapi sudah menjadi kebutuhan mutlak,” tegas Irfan.
* Artikel ini dibuat dalam rangka memperingati ulang tahun ke-110 BRI pada 16 Desember 2005.
0 comments:
Post a Comment