Belum Mampu Penuhi Permintaan Pasar*
Di negeri ini, eksekutif yang begitu ‘fanatik’ dengan perbankan syariah bisa dihitung dengan jari. Haji Embay (52 tahun) termasuk salah satunya. Presiden Direktur PT Buana Centra Swakarsa ini bukan saja paham seluk-beluk perbankan syariah, tapi juga begitu fanatik menggunakannya.
Dia bahkan begitu fasih dan paham betul tentang perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah. Maklum saja, nasabah Bank Muamalat ini sejak lama berhubungan dengan bank syariah pertama di Indonesia itu.
“Saya pribadi sejak Bank Muamalat berdiri, langsung menutup rekening dan memindahkan rekening ke bank syariah. Kalau perusahaan sejak tahun 1994,” kata Haji Embay yang sangat antusias berbicara tentang perbankan syariah.
Motifnya pun begitu tulus. “Itu kan konsekuensi dari ke-Islam-an kita. Sebagai umat Islam, kita sudah tahu bunga bank itu haram,” ujarnya ketika ditanya apa motivasinya menjadi nasabah bank syariah.
Bagi Haji Embay, aspek keadilan merupakan salah satu faktor yang menjadi jurang pemisah antara sistem konvensional dan bank syariah. Dari sisi bisnisnya, misalnya, dia menganggap sistem perbankan konvensional dengan menggunakan bunga telah ‘menzholimi’ orang.
Sistem ribawi tersebut hanya menjadikan yang kaya makin kaya, dan yang miskin bertambah miskin. Sebaliknya, system bagi hasil bank syariah lebih mencerminkan asas keadilan.
“Misalnya usaha yang untungnya besar, bagi hasilnya harus besar. Usaha untungnya kecil, bagi hasilnya harus kecil. Contoh yang ekstrem, tukang beras, dengan tukang nasi dengan rumah makan kan untungnya berbeda,” ucapnya.
Haji Embay merupakan salah satu contoh dari potret masyarakat Indonesia yang sangat membutuhkan jasa perbankan syariah. Dia mengerti betul bahwa menggunakan jasa perbankan ribawi konvensional haram hukumnya.
Namun, apa daya, belum banyaknya jaringan perbankan syariah menjadikan beberapa wilayah di Indonesia belum mampu terlayani, sehingga dianggap dalam kondisi darurat. Tingginya permintaan masyarakat terhadap perbankan syariah terlihat dari hasil survey yang dilakukan Bank Indonesia (BI) terhadap 4.025 responden di empat provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur pada tahun 2000.
Sistem bagi hasil yang menjadi ciri khas bank syariah ternyata mampu diterima secara universal karena dianggap menguntungkan baik bagi bank maupun nasabah. Responden yang bersedia menerima sistem bagi hasil mencapai 94%. Sungguh potensi angka yang luar biasa!
Bahkan, hasil penelitian di Jawa Barat menunjukkan, masyarakat yang menjadi nasabah konvensional memiliki kecenderungan kuat untuk memilih bank syariah, setelah diberi penjelasan tentang sistem, produk, jasa, serta kehalalan bank syariah.
Sebaliknya, nasabah yang telah menggunakan jasa bank syariah sebagian malah memiliki kecenderungan untuk berhenti jadi nasabah, karena kualitas pelayanan yang kurang baik dan atau keraguan terhadap konsistensi penerapan sistem syariah.
Masyarakat di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur menunjuk kualitas pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan menjadi faktor dominan yang memotivasi mereka untuk menggunakan jasa perbankan syariah.
Sedangkan faktor keagamaan (halal dan haram) bukanlah menjadi faktor penting. Namun, untuk masyarakat Jawa Tengah, faktor pertimbangan agama menjadi motivator terpenting untuk mendorong penggunaan jasa bank syariah.
Jaringan T

Meski sudah menjadi nasabah Bank Muamalat selama 12 tahun, Haji Embay tetap mengharapkan bank pilihannya itu terus memperluas jaringannya agar lebih dekat dengan tempatnya berdomisili.
“Kayaknya BMI itu harus secepatnya membuka cabang-cabang di daerah, karena seperti saya yang berdomisili di Cilegon kan repot, sementara BMI baru sampai Tangerang. Kalau melakukan transaksi agak repot. Jadi, saya minta BMI secepatnya meningkatkan pelayanan dengan membuka cabang-cabang di daerah, terutama yang punya potensi ekonomi,” katanya.
Harapan Haji Embay ini setidaknya memperlihatkan dua hal. Pertama, terdapat permintaan pasar yang tinggi terhadap jasa perbankan syariah. Kasus tersebut menunjukkan, meski cabang bank syariah sangat jauh dari tempat tinggalnya, Haji Embay tetap bersedia menjadi nasabah bank syariah. Kedua, keterbatasan cabang itu sekaligus menunjukkan adanya pasar yang belum terlayani secara penuh dan menyeluruh.
Fakta ini seharusnya menjadi titik perhatian penting para pelaku perbankan syariah, BI, dan pemerintah. Meski diakui, sejak tahun 2000-2002, pertumbuhan jaringan perbankan syariah mencapai rata-rata 50% per tahun, dan terus meningkat 100% pada tahun 2002 hingga kini. Namun, jika dibandingkan dengan jaringan konvensional, jaringan perbankan syariah masih sedikit, yakni 7.626 unit berbanding 269.
Keterbatasan jaringan perbankan syariah ini juga menyebabkan total aset bank syariah baru mencapai 0,65% (Rp 7,44 triliun) dari total aset perbankan nasional (Rp 1.142,23 triliun). Berdampak pula pada penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang baru menguasai 0,59% (Rp 5,16 triliun) dari total DPK perbankan nasional sebesar Rp 875,42 triliun. Dan, pembiayaan yang baru mencapai 1,15% (Rp 5,47 triliun) dari total kredit perbankan nasional sebesar Rp 475,66 triliun.
Statistik perbankan syariah BI juga menunjukkan, penambahan jaringan lebih banyak disebabkan ekspansi dua bank umum syariah yang telah ada, yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI), dan Bank Syariah Mandiri (BSM) yang demikian tinggi.
Selama tahun 2000 hingga 2003, jaringan pelayanan BMI bertambah dari 43 unit menjadi 122 (bertambah 79), disusul BSM yang bertambah dari 14 unit menjadi 87 unit (bertambah 73).
Tujuh Kendala
Meski jaringan pelayanan perbankan syariah mampu tumbuh 100%, perbankan syariah tetap menghadapi beberapa tantangan. Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia, A. Riawan Amin, misalnya, mengutarakan tujuh kendala yang sedang dihadapi perbankan syariah.
Tujuh kendala itu adalah permodalan yang masih sangat kecil, dan sumbernya terbatas, jaringan kantor bank syariah dan pangsa pasar yang masih terbatas, pemahaman masyarakat dan sosialisasi yang belum tepat mengenai produk, jasa, dan kegiatan operasional bank syariah, dan sumber daya manusia profesional yang masih terbatas.
Kendala lainnya, yaitu belum konsistennya pemahaman dengan pilihan perbankan syariah, seperti yang terjadi pada bank tokoh masyarakat Islam, di mana rekening kas-kas mesjid, lembaga pendidikan Islam, dan institusi Islam masih berada di perbankan konvensional.
Itu belum termasuk kendala di bidang regulasi, seperti ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, serta institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif, serta persaingan dengan perbankan konvensional domestic maupun luar negeri yang jor-joran dalam berpromosi.
Meskipun jaringan perbankan syariah selama 12 tahun terakhir belum mampu memenuhi permintaan pasar. Namun, industri perbankan syariah tumbuh dengan cepat. Dari sisi aset saja, pertumbuhannya rata-rata mencapai 60-70% per tahun.
Volume usaha industri perbankan syariah tumbuh 73,5% dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp 6,2 triliun pada bulan Agustus lalu. Bahkan, angka ini terus tumbuh menjadi Rp 7,85 triliun pada bulan Desember 2003. Sedang, posisi dana pihak ketiga (DPK) dan pembiayaan masing-masing mencapai Rp 5,72 triliun, dan Rp 5,53 triliun.
Hal ini tentu saja patut diacungi jempol. Sebab, di tengah berbagai kendala yang dihadapi perbankan syariah saat ini, seperti keterbatasan modal, jaringan, pemahaman masyarakat yang terbatas, serta aspek regulasi yang belum sempurna, perbankan syariah mampu survive, bahkan tumbuh dengan cukup signifikan.
Perbankan syariah Indonesia, saat ini, memang mampu tumbuh dengan laju tinggi. Namin, untuk mempertahankan pertumbuhan tinggi yang berkesinambungan (high sustainable growth) itu, tetap diperlukan upaya-upaya untuk tidak hanya memperluas, tapi juga memperdalam pasar. Tindakan perluasan pasar (market expansion) dan perdalaman pasar (market deepening) terkait dengan sasaran-sasaran dan target-target pasar pasar seperti apakah yang ingin dicapai para pelaku pasar.
Sebuah industri tak akan mampu berkembang jika hanya mengandalkan pasar spesifik. Memang, dalam 5-10 tahun pertama, ketika pasar spesifik itu belum jenuh dengan banyak pemain, dan persaingan, dipastikan pertumbuhan tinggi akan terjadi. Namun, jika ingin berkembang dan matang (mature), industri itu harus selalu melirik basis pasar yang baru.
Terkait dengan itu, maka para pelaku pasar sekarang ini harus mereposisikan arah dan target pasar perbankan syariah yang selama ini ditekuni. Apakah benar perbankan syariah hanya untuk umat Islam semata? Tentu tidak jawabannya, karena sistem yang terkandung dalam perbankan syariah memiliki misi mendatangkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’ alamin).
Bercermin dari itu, maka arah dan proyeksi sosialisasi mengenai sistem perbankan syariah harus ditujukan tidak hanya kepada satu segmen semata, tapi juga mulai memperhitungkan segmen-segmen pasar yang berpotensi untuk menunjang pertumbuhan tinggi tadi (high growth sustainable), seperti korporasi-korporasi, dana pension, dan masyarakat luas (non muslim).
Bisakah? Jelas bisa, mengingat sistem bagi hasil merupakan sistem yang universal yang diterima lintas strata maupun agama, seperti yang tercermin dari hasil survey Bank Indonesia. Bahkan, bagi hasil perbankan syariah yang menawarkan ekivalen rate yang lebih tinggi dari bunga konvensional setidak-tidaknya menjadi modal tersendiri yang mampu menjadi “gula” untuk menarik berbagai jenis semut.
Tipikal pasar perbankan nasional saat ini, menurut hasil kajian dari Karim Business Consulting (KBC), memang terbagi menjadi tiga kategori, yakni pertama, syariah loyalis sebesar Rp 10 triliun. Kedua, floating market (pasar mengambang) sebesar Rp 720 triliun, dan loyalis konvensional sebesar Rp 240 triliun.
Jika saat ini, total aset perbankan syariah mencapai Rp 7,85 triliun, maka jelas, pasar syariah loyalis akan semakin habis berkurang. Dipastikan, tahun ini pun, total aset perbankan syariah akan mampu mencapai Rp 10 triliun, karena segmen syariah loyalis terpicu menjadi nasabah bank syariah berkat keberadaan fatwa haram bunga bank yang dikeluarkan MUI tanggal 16 Desember 2003.
Market Opportunity
Saat ini, industri perbankan syariah memang diuntungkan oleh kondisi pasar. Ada dua hal yang menyebabkan itu, pertama, fatwa haram bunga bank telah mendorong sebagian masyarakat muslim relijius untuk menjadi nasabah bank syariah. Terbukti, DPK perbankan syariah telah meningkat 20-30% per bulannya hingga tiga bulan pertama paska fatwa.
Kedua, penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tren penurunan suku bunga dunia telah mendorong turunnya tingkat bunga simpanan bank konvensional. Akibatnya, sebagian kecil segmen masyarakat yang mengerti akan kebutuhan investasi lalu mengalihkan simpanannya pada bank syariah.
Dua peluang pasar inilah yang harus dimanfaatkan industri perbankan syariah untuk segera memacu pertumbuhan dan sekaligus memantapkan pertumbuhannya secara stabil. Dua peluang itu, bisa diibaratkan bak seorang bayi yang mendapat minuman susu, dan juga vitamin agar dapat tumbuh sehat dan kuat.
Peluang pertama, dapat termanfaatkan, jika perbankan syariah dapat memperluas jaringannya pada kantong-kantong masyarakat muslim, dan mengedukasi target pasar itu secara baik. Namun, untuk membidik dan mendapatkan sasaran pasar seperti itu sangatlah sulit mengingat kantong-kantong muslim di Indonesia sangatlah sedikit. Kebanyakan syariah loyalis tersebar secara acak di seluruh penjuru Indonesia.
Sedangkan, peluang kedua, dapat dimanfaatkan dengan sesegera mungkin memperbanyak cabang-cabang perbankan syariah, dan tetap mempertahankan bagi hasil yang tinggi kepada nasabah. Caranya adalah dengan melakukan pembiayaan sindikasi, kepada proyek-proyek besar, serta mulai memperdalam nasabah pembiayaan di sektor korporat, tanpa meninggalkan basis UKM yang selama ini sudah kuat.
Di sinilah, perbankan syariah domestik perlu menciptakan jaringan (networking) dengan pasar keuangan syariah global. Jika terjalin, maka sebetulnya, perbankan syariah dapat menggunakan dana yang berasal dari luar untuk digunakan sebagai investasi di dalam negeri.
Tanda-tanda mengenai ini pun sudah diberikan, misalnya oleh HSBC Amanah Finance, yang telah mengundang 12 investor dari Timur Tengah untuk menjajaki pembiayaan jangka panjang kepada korporat-korporat di Indonesia. HSBC Amanah Finance, telah menyatakan akan memainkan fungsi sebagai lembaga perantara atas hubungan timbal balik antara investor tersebut dengan pelaku perbankan syariah domestik.
Pasar Modal Syariah
Guna memantapkan diri sebagai sebuah industri yang kuat, perbankan syariah jelas membutuhkan instrumen-instrumen investasi, selain asuransi syariah. Kebutuhan itu dapat dipenuhi melalui pasar modal syariah, di mana tersedia obligasi syariah maupun obligasi pemerintah (Sukuk).
Saat ini, meski belum teregulasi secara baik, pasar modal syariah tumbuh secara perlahan. Ditandai dengan mulai maraknya obligasi syariah yang diterbitkan tidak hanya oleh perbankan syariah, tapi juga dari sektor riil. Bahkan, jenis dan variasi obligasinya pun beraneka rupa, mulai dari obligasi syariah mudharabah (bagi hasil) hingga ijarah.
Saat ini, terdapat enam obligasi syariah dengan total emisi mencapai Rp 740 miliar. Keenam obligasi itu adalah obligasi syariah Indosat (Rp 175 miliar), obligasi subordinasi Bank Muamalat Indonesia (Rp 200 miliar), obligasi senior Bank Syariah Mandiri (Rp 200 miliar), obligasi Bukopin (Rp 45 miliar), obligasi Ciliandra Perkasa (Rp 60 miliar), dan obligasi Berlian Laju Tanker (Rp 60 miliar).
Pada titik ini, dibutuhkan peranan pihak regulator baik Dewan Syariah Nasional (DSN) maupun Bapepam untuk segera mengeluarkan berbagai macam regulasi terkait dengan berbagai macam instrumen syariah. Pasalnya, jika ingin berkembang, perbankan syariah mau tak mau harus mendapatkan tambahan modal melalui pasar modal, entah itu menjadi perusahaan terbuka (go public), atau menerbitkan obligasi subordinasi.
Keberadaan pasar modal syariah pun, jika dapat beroperasi, akan menarik investor Timur Tengah untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kita tak perlu malu meniru Malaysia atau Bahrain yang telah maju lebih dulu dalam hal pengembangan pasar modal syariah. Sebagai gambaran, permintaan instrumen pasar modal berprinsip syariah di Bursa Saham Kuala Lumpur Berhad telah menarik investor domestik dan internasional. Saat ini, instrumen syariah tercatat mencapai setengah dari total kapitalisasi pasar Labuan International Financial Exchange (LFX), yakni mencapai US$ 1,45 miliar dari total kapitalisasi pasar LFX sebesar US$ 2,96 miliar. Jelas ini merupakan potensi yang jangan dianggap remeh.
* Artikel ini dibuat dalam rangka lomba karya tulis perbankan syariah yang diselenggarakan BNI Syariah. Pada kesempatan itu, penulis berhasil keluar sebagai Juara I lomba tersebut.
0 comments:
Post a Comment