Peran dan Tantangan BI dalam Lima Tahun Mendatang:
Perlu Kebijakan Moneter yang Lebih Akomodatif
*




Terpilihnya pemerintahan baru Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla melalui proses yang demokratis telah menimbulkan optimisme baru, baik dari kalangan rakyat biasa maupun para pelaku pasar asing maupun domestik. Betapa tidak, pemerintahan baru yang terpilih dan akan menjalankan kekuasaannya selama 5 tahun ke depan itu, telah memiliki modal sosial yang cukup baik, berupa legitimasi yang kuat dari rakyat.

Selain itu, pemerintahan baru tersebut juga mewarisi dasar-dasar fundamental ekonomi yang baik, dari pemerintahan sebelumnya. Warisan itu berupa tingkat inflasi yang sebelumnya telah turun signifikan dari 10,03% pada tahun 2002 menjadi 5,06% pada tahun 2003. Demikian pula halnya dengan cadangan devisa yang naik dari US$ 32 miliar menjadi US$ 36,3 miliar dalam periode yang sama. Serta, nilai tukar rupiah di mana selama tahun 2003 rata-rata berada di posisi Rp 8.593 per dolar.

Karena itu, gabungan dari dua kekuatan tersebut, semestinya akan lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat lagi. Apalagi, tanda-tanda ke arah tersebut sudah mulai terlihat dari mulai bergeraknya investasi—meski baru sebatas di sektor properti. Ditambah lagi, makin membesarnya kontribusi ekspor barang dan jasa dari semula hanya US$ 59,2 miliar pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 62,9 miliar pada 2003 lalu.

Pertumbuhan ekonomi pun sudah mulai bergerak naik, meski dengan kecepatan yang relatif pelan. Tercatat, laju pertumbuhan ekonomi dalam satu tahun terakhir, hanya berhasil tumbuh dari 3,7% pada tahun 2002 menjadi 4% pada tahun 2003. Dan, hingga pertengahan tahun ini telah mencapai 4,6-4,7%.

Diyakini, laju pertumbuhan ekonomi akan bergerak lebih cepat lagi, jika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mampu memanfaatkan modal sosial yang telah dimilikinya sebaik mungkin, untuk menjalankan agenda-agenda reformasi di bidang hukum, seperti pemberantasan korupsi, penyelundupan, dan perampingan birokrasi perijinan. Jika agenda tersebut berhasil, maka arus investasi dan kepercayaan investor baik asing maupun domestis akan terus meningkat.

Dunia usaha akan mampu meningkatkan produksi dan produktifitasnya tanpa dibebani masalah-masalah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Dengan demikian, pemerintah pun akan mendapat manfaat tidak langsung, berupa terjadinya peningkatan pajak pembangunan, penurunan angka pengangguran, dan makin membaiknya kepercayaan rakyat dan pelaku bisnis. Jika iklim investasi makin membaik, niscaya pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8% bakal tercapai dalam 3 tahun mendatang.

Tantangan ke Depan
Meskipun memiliki dasar-dasar yang kuat seperti dijelaskan di atas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono masih dihadapkan pada minimnya dukungan di legislatif. Hal ini karena secara kuantitatif, jumlah kursi partai politik pendukung SBY yang bergabung dalam koalisi kerakyatan tidaklah dominan. Padahal, dukungan parlemen sangat dibutuhkan SBY, guna membahas sejumlah perundang-undangan, seperti amandemen UU perpajakan, amandemen UU perbankan, masalah subsidi, dan lain sebagainya.

Jika hubungan antara pemerintah dan legislatif kurang harmonis, maka dikhawatirkan proses politik tersebut akan menganggu perbaikan-perbaikan ekonomi, seperti nilai tukar rupiah, laju inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Memanasnya suhu politik itu pun akan menganggu pula fungsi intermediasi perbankan secara tidak langsung. Untuk itu, pemerintah setidaknya perlu melakukan manajemen konflik yang baik dengan menghindari konflik dan mencari basis dukungan yang luas di legislatif, melalui kalkulasi politik yang cermat dan hati-hati.

Tantangan ke depan lainnya bagi pemerintah SBY adalah bagaimana melakukan perbaikan-perbaikan infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, bendungan, pelabuhan, transportasi, dan listrik, agar arus investasi dapat segera masuk. Perbaikan-perbaikan itu jelas membutuhkan dana yang tak sedikit dan membutuhkan bantuan sektor perbankan pula.

Dari sisi eksternal, berlanjutnya penguatan mata uang regional termasuk rupiah akibat kebijakan weak dollar, karena defisit neraca berjalan Amerika Serikat yang per Agustus lalu telah mencapai US$ 54 miliar jelas akan mempengaruhi ekspor non migas, dan daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor. Apalagi, jika pemerintah Cina merealisasikan permintaan Negara-negara maju untuk merevaluasi nilai tukar mata uangnya Yuan.

Aspek eksternal lainnya yang perlu dicermati adalah naiknya harga minyak hingga tahun 2005 mendatang. Kenaikan harga itu meskipun akan menaikkan penerimaan negara dari migas, namun akan memukul pemerintah pula, karena secara bersamaan beban subsidi makin meningkat, sehingga memberatkan APBN.
Kenaikan harga minyak itu pun akan menyebabkan lonjakan inflasi, karena sektor industri, dan transportasi akan menaikkan biaya produksinya. Sementara, penyesuaian-penyesuaian harga pun akan menimbulkan masalah di sektor perbankan, berupa lonjakan kredit bermasalah. Aspek eksternal berikutnya adalah berkurangnya arus masuk modal asing, akibat tren kenaikan suku bunga internasional, mengikuti penyesuaian yang dilakukan oleh Federal Reserve. Jika itu terjadi, jelas akan dapat memberi tekanan kenaikan suku bunga domestik.

Peranan Bank Indonesia
Sesuai Undang-undang No. 3 Tahun 2004, pasal 7, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuannya itu, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneternya secara transparan, berkelanjutan, konsisten, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

Sejauh ini, Bank Indonesia memang tampak berhasil meredam gejolak nilai tukar rupiah. Tercatat, rata-rata nilai tukar rupiah pada triwulan III 2004 berada di posisi Rp 9.163 per dolar. Sementara, rata-rata nilai tukar sejak awal tahun sampai dengan bulan September telah mencapai Rp 8.878 per dolar AS.

Bank Indonesia dengan paket kebijakan stabilisasinya memang untuk sementara waktu berhasil meminimalisir gejolak nilai tukar rupiah. Kondisi itu mampu memberi kontribusi yang berarti bagi ruang peningkatan ekspor di masa mendatang. Meskipun, tantangan eksternal berupa tingginya harga minyak dunia masih akan memberi tekanan pada rupiah dalam jangka waktu panjang.

Sesuai UU tersebut, pada pasal 10, Bank Indonesia juga diberi wewenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan tetap memperhatikan sasaran laju inflasi. Untuk itu, BI diperkenankan menggunakan cara-cara operasi pasar terbuka baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit.

Melalui kebijakan moneter yang cenderung ketat yang dirilis pertengahan tahun ini, Bank Indonesia tampak berhasil menciptakan iklim yang kondusif bagi perbankan. Hal itu tampak dari tujuan diterapkannya kebijakan moneter yang cenderung ketat, yakni menyerap kelebihan likuiditas perbankan dengan meminimalisir kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia.

Hal itu tampak dari tingkat suku bunga SBI yang hanya naik sebesar 10 basis poin dari bulan Mei hingga November 2004. Tercatat, tingkat suku bunga SBI berada pada titik terendahnya pada bulan Mei 2004 sebesar 7,32%, dan naik secara perlahan selama tujuh bulan terakhir sehingga berada pada titik 7,42% pada bulan November 2004.

Relatif stabilnya suku bunga SBI telah mendorong perbankan menurunkan suku bunga kreditnya. Kondisi itu membuat permintaan kredit oleh dunia usaha makin meningkat, karena para pengusaha merasakan tingkat bunga yang ada saat ini mampu mendatangkan turn over (tingkat pengembalian) yang tinggi.

Kondisi di atas juga membuat perbankan mulai mengalihkan portofolio asetnya dari tadinya di SBI ke pengucuran kredit yang mampu memberikan return yang tinggi pada bank. Tercatat, hingga bulan September 2004, telah terjadi peningkatan kredit sebesar Rp 77,9 triliun (16,32%) dari posisi akhir tahun 2003 sebesar Rp 477,19 triliun. Adapun kredit baru selama bulan September 2004 meningkat sebesar Rp 12,9 triliun. Sehingga, total kredit baru sejak Januari hingga September 2004 telah mencapai Rp 70 triliun.

Sementara itu, kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sampai Agustus lalu telah tumbuh pula sebesar 3,1% sehingga menjadi Rp256,4 triliun. Bila dibandingkan dengan posisi Desember 2003, pertumbuhan UMKM yang sebesar 16,9% masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan total kredit. Sedangkan, selama triwulan III 2004, realisasi kredit baru terlihat menunjukkan peningkatan pula sebesar 9,1% atau Rp 13,48 triliun dibandingkan triwulan sebelumnya.

Tantangan BI
Tantangan yang dihadapi BI tentu saja adalah bagaimana turut serta menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan perbankan, agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8% yang dicanangkan pemerintah dapat tercapai dalam 5 tahun mendatang. Serta, menjaga tingkat inflasi sebesar 3% pada 2007 mendatang.

Diperkirakan, pada tahun 2005 mendatang, ekonomi akan bertumbuh di atas 5%. Sementara, tingkat inflasi diperkirakan akan relatif sama seperti tahun 2004, yakni 6%.

Guna mencapai dua sasaran strategis itu, paling tidak Bank Indonesia perlu bekerja keras dan mencermati secara hati-hati kestabilan nilai tukar rupiah. Koordinasi, komunikasi dan kerjasama sinergis antara BI dan pemerintah mutlak diperlukan, agar potensi mobilitas arus modal ke luar dapat dihindari. Pada sisi ini, pemerintah mutlak perlu mengakselerasi pembaharuan sistem hukum dan birokrasi perijinan, agar arus investasi asing langsung dapat bergerak secara simultan.

Di bidang perbankan, Bank Indonesia juga perlu mempertahankan stabilitas sistem dan mengupayakan secara terus-menerus agar fungsi intermediasi perbankan dapat meningkat serta mengupayakan agar pengawasan internal perbankan dapat berjalan secara intensif.

Upaya mendorong fungsi intermediasi mutlak diperlukan, karena pada sektor inilah sumber pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi tinggi dapat diandalkan, selain tentu saja pasar modal. Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah menyatakan, guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, diperlukan pertumbuhan kredit sebesar 22%. Karena itu, agar ekonomi dapat bertumbuh di atas 5%, maka kredit pun harus bertumbuh di atas 25%.

Tentu saja, pernyataan Gubernur BI itu mutlak direalisasikan dalam bentuk suatu kebijakan yang dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan secara baik. Salah satu upayanya adalah mengupayakan agar tingkat suku bunga SBI dapat di-maintain pada tingkat yang stabil dan rendah, seperti saat ini. Hal lainnya yang dapat dilakukan BI adalah melihat secara cermat rencana bisnis masing-masing bank, terutama dalam hal ekspansi kredit, rasio kecukupan modal, dan rasio kredit bermasalah, apakah sudah berada pada posisi yang sempurna.

Untuk itu, Bank Indonesia perlu secara terus-menerus mengupayakan terciptanya struktur industri perbankan nasional yang kuat, antara lain melalui konsolidasi merger dan akuisisi, seperti yang sudah dicanangkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Hal itu diperlukan untuk mencapai tatanan ekonomi yang lebih sehat, kuat dan efisien agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hal lainnya yang perlu dilakukan BI adalah memantapkan koordinasi dengan pemerintah dalam upaya mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan elspor. Kebijakan moneter dan perbankan yang diarahkan mendukung stabilitas makroekonomi tersebut diharapkan dapat meringankan upaya Pemerintah untuk terus berusaha mengatasi masalah rendahnya daya saing dan memperbaiki iklim investasi melalui peningkatan kepastian usaha, penegakan hukum dan perbaikan infrasturktur.

Persiapan Agenda
Dalam 5 tahun ke depan (2004-2009), di mana pemerintahan SBY berkuasa, merupakan titik krusial bagi sejumlah agenda penting yang akan terjadi pada periode setelah itu (setelah tahun 2009). Sejumlah agenda itu adalah, pertama, merupakan tahun penting bagi persiapan pelaksanaan Arsitektur Perbankan Indonesia, di mana ketentuan modal disetor minimal Rp 100 miliar bagi bank akan mulai diberlakukan pada tahun 2011. Ke depan, ketentuan permodalan ini tentu harus disesuaikan sesuai dengan perkembangan yang ada.

Terkait dengan permodalan perbankan, Bank Indonesia juga harus mampu meningkatkan pengawasannya terhadap bank-bank yang akan menerbitkan emisi sub-debt. Hal ini karena banyak pemilik bank-bank yang cenderung menerbitkan surat utang subordinasi guna memperkuat permodalannya, ketimbang menambah setoran dari dananya sendiri. Dikhawatirkan, jika tidak diawasi secara cermat dan baik, akan banyak bank yang memiliki ratio debt to equity ratio (DER) di atas ambang ketentuan, sehingga pada akhirnya terjerat utang dan dipailitkan. Jika itu terjadi, maka biaya-biaya sosial yang akan timbul akan jauh lebih besar.

Kedua, dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia perlu mengupayakan adanya penyesuaian-penyesuaian kebijakannya. Jika selama krisis ekonomi hingga kini (1999-2004), kebijakan moneter BI cenderung didominasi kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias), maka seiring target inflasi sebesar 3% pada tahun 2007 dapat tercapai, maka ada baiknya jika kondisi-kondisi moneter memungkinkan, maka secara perlahan, kebijakan moneter BI mulai berubah ke arah yang netral dan kemudian menuju kebijakan moneter yang akomodatif.

Perubahan pendirian kebijakan moneter tersebut mutlak diperlukan, agar BI dapat menyesuaikan dengan situasi perekonomian global dan domestik. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mutlak membutuhkan sebuah kebijakan moneter yang tak cukup hanya ketat saja, tapi juga akomodatif.

Ketiga, mempersiapkan sejumlah amandemen perundang-undangan bersama pemerintah, seperti Undang-Undang Perbankan, dan Undang-Undang Khusus Perbankan Syariah, serta memperkuat rejim anti pencucian uang.

Keempat, mempersiapkan terbentuknya lembaga pengawas sektor jasa keuangan atau yang dikenal sebagai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang independent. Hal itu sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, pasal 34 di mana pembentukan OJK dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Kelima, mempersiapkan pelepasan seluruh anak-anak perusahaan yang dimiliki Bank Indonesia, seperti Bank Indover, Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), dan BPUI. Tugas ini sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2004 pasal 77, di mana BI diamanatkan untuk paling lambat 5 tahun sejak diberlakukannya UU tersebut, melepas seluruh penyertaannya pada badan hukum atau badan lainnya yang tidak memenuhi ketentuan pasal 64 ayat 1.

Keenam, mempersiapkan terbentuknya badan supervisi guna meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas bank sentral, seperti diamanatkan UU No. 3 Tahun 2004 tentang BI pasal 58A. Badan supervisi itu terdiri dari 5 orang anggota, dengan seorang ketua merangkap anggota, dan 4 orang anggota. Mereka nantinya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan 3 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

* Artikel ini dibuat dalam rangka lomba karya tulis wartawan yang diselenggarakan Bank Indonesia. Penulis berhasil menjadi juara harapan I lomba tersebut.

0 comments: