44 Tahun Jasa Raharja: Perlu Transformasi Diri Kembali*


Sebuah laporan menarik datang dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) yang mempublikasikan potensi kerugian ekonomi akibat kecelakaan lalu lintas di kawasan Asia Tenggara dalam 5 tahun ke depan.

Laporan yang dipublikasikan tanggal 22 November lalu itu menyebutkan, total kerugian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai US$ 88 miliar. Korban jiwa mencapai 24 juta orang dengan jumlah kecelakaan mencapai 385 ribu kali.

Hal itu bakal terjadi, jika negara-negara di kawasan ini tak segera memperbaiki keselamatan berlalu lintasnya secara serius. Bahkan, selama tahun 2003, total kerugian ekonomi akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia telah menempati posisi tertinggi dibandingkan 9 negara lainnya, yakni Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Di Indonesia, total kerugian ekonomi mencapai US$ 6.032 juta (2,91% GDP), atau 60% dari total kerugian negara-negara se-Asean yang hanya US$ 15.102. Urutan kedua dan ketiga ditempati negara Thailand (2,1% GDP) dan Malaysia (2,4% GDP) dengan total kerugian masing-masing US$ 3.000 dan US$ 2.400.

Jika kerugian dalam dolar ini dikonversikan dengan nilai kurs sebesar Rp 9.000 per dollar, maka terungkaplah angka yang luar biasa besarnya, yakni Rp 54,28 triliun. Angka ini tentu saja belum memasukkan perhitungan adanya kerugian akibat penurunan produktifitas secara massal, mengingat korban kecelakaan sebagian besar dialami kaum laki-laki dari kelompok usia produktif 15-40 tahun.

Padahal, jika dilihat kontribusinya secara nasional, pada 2004, sektor perhubungan menyumbangkan 9,52% terhadap pendapatan nasional. Kerugian lebih spesifik bisa tergambarkan dari kasus kecelakaan pada Poltabes Denpasar selama tahun 2001-2003 yang terus meningkat dari Rp 76,6 juta menjadi Rp 149,7 juta pada tahun 2002 dan Rp 204,6 juta pada tahun 2003. Kerugian itu hanya bersumber dari 73 kasus kecelakaan pada tahun 2003 saja.

Bayangkan, jika data Polri mengenai total kecelakaan secara nasional selama tahun 2003 yang mencapai 13.399 kasus dengan korban tewas 9.865 orang, luka berat 6.142 orang, dan luka ringan 8.694 orang dihitung pula. Tak terbayangkan betapa dahsyatnya kerugian yang terjadi.

Di sinilah peran perusahaan asuransi Jasa Raharja memainkan posisi penting dengan memberikan santunan terhadap korban kecelakaan lalu lintas, baik angkutan darat, udara, maupun laut. Dengan rujukan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.415/KMK.06/2001 dan No. 416/KMK.06/2001 tanggal 17 Juli 2001, asuransi Jasa Raharja dapat memberikan santunan bagi korban meninggal dan cacat tetap untuk angkutan umum darat dan laut sebesar Rp 10 juta. Sementara, untuk angkutan udara besarnya adalah Rp 50 juta.
Sedangkan, santunan biaya rawatan dan biaya kubur bagi angkutan darat dan laut ditetapkan masing-masing sebesar Rp 5 juta dan Rp 1 juta. Sementara, untuk angkutan udara ditetapkan Rp 25 juta dan Rp 1 juta.

Secara nasional, jumlah klaim yang dibayarkan Jasa Raharja juga terus menunjukkan perkembangan signifikan. Jika pada tahun 2001, jumlah klaim yang dibayarkan Jasa Raharja hanya Rp 223 miliar, maka pada tahun 2003 jumlahnya mencapai Rp 448,4 miliar, atau naik 50,3%. Santunan sebesar Rp 448,4 miliar itu diberikan pada 81.450 orang korban kecelakaan.
Sementara, penghimpunan premi atas dasar Undang-Undang (UU) No. 33 Tahun 1964 dan UU No. 34 Tahun 1964 masing-masing naik 41,9% dan 29,1%. Rinciannya premi atas dasar UU No. 33 Tahun 1964 naik dari Rp 94 miliar tahun 2001 menjadi Rp 161,6 miliar pada tahun 2003. Sementara, premi atas dasar UU No. 34 Tahun 1964 naik dari Rp 479,5 miliar menjadi Rp 676,2 miliar tahun 2003. Premi ini sempat turun 10,8% dari Rp 757,8 miliar menjadi Rp 676,2 miliar.

Transformasi Diri
Dalam usianya yang memasuki 44 tahun, PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) telah banyak mengalami berbagai macam transformasi. Bentuk transformasi itu, misalnya saja, terlihat dari bentuk status badan hukumnya yang berubah dari perusahaan asuransi kerugian negara (PAKN) Ika Karya menjadi perusahaan negara asuransi kerugian (PNAK) Eka Karya pada akhir 1960.

Selang 5 tahun kemudian, PNAK Eka Karya berubah lagi menjadi perusahaan negara asuransi kerugian Jasa Raharja. Tugasnya khusus mengelola pelaksanaan Undang-Undang No. 33 dan No. 34 Tahun 1964. Selanjutnya, pada 1970, PNAK Jasa Raharja berubah menjadi Perum Jasa Raharja. Dan, terakhir melalui Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1980 tanggal 6 November 1980, status Jasa Raharja kembali berubah menjadi PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero).

Meski telah banyak mengalami transformasi diri, namun ruang gerak Jasa Raharja masih didasarkan pada dua produk undang-undang jaman tempo dulu, yakni UU No. 33 dan 34 Tahun 1964. Dari dua produk UU inilah, pusat segala aktifitas Jasa Raharja bermuara. Disadari atau tidak, melalui dua produk UU itu—yang sudah tak relevan lagi, daya tarik Jasa Raharja menjadi jauh berkurang. Ibarat gadis cantik yang membalut tubuhnya hanya dengan pakaian lusuh dan seadanya.

Walaupun hingga kini pemerintah belum memperbaharui dasar hukum operasional Jasa Raharja, namun tak berarti perhatian pemerintah menjadi surut. Seiring makin ketatnya persaingan, maka industri asuransi pun dituntut untuk makin meningkatkan struktur permodalannya. Hal itulah yang terjadi pada Jasa Raharja, di mana penyertaan modal pemerintah bertambah dari Rp 147 miliar menjadi Rp 250 miliar, pada jaman Presiden Abdurrahman Wahid melalui PP No. 6 Tahun 2001 dan pada jaman Presiden Megawati Soekarnoputri dengan PP No. 17 Tahun 2003.

Adanya tambahan modal itu jelas makin membuat Jasa Raharja siap untuk bersaing, karena memiliki keunggulan berupa permodalan yang kuat. Saat ini, tingkat solvabilitas Jasa Raharja pun cukup sehat dengan posisi 281,17%, jauh di atas ketentuan Departemen Keuangan sebesar 120%.

Seiring itu, total aset perseroan juga tampak meningkat hingga bisa menembus angka Rp 1,023 triliun. Hingga tahun 2003 lalu, Jasa Raharja bahkan mampu membukukan laba bersih Rp 230 miliar atau mengalami kenaikan 19,79% dibandingkan periode sebelumnya.

Tantangan Ke Depan
Selanjutnya, sebagai perusahaan, Jasa Raharja tentu memiliki beberapa tantangan guna mempertahankan kesinambungan dirinya. Apalagi, di tengah persaingan dan iklim kompetisi yang makin ketat, bukan tak mungkin Jasa Raharja akan dihadapkan dengan persaingan yang makin terbuka. Tidak seperti sekarang ini di mana perlindungan pemerintah masih terasa besar, karena sifat operasional perseroan yang masih monopolistik.

Dalam hal ini, Direktur Utama Jasa Raharja, Darwin Noor mengatakan, sikap perseroan tergantung pada kebijakan pemerintah, apakah pemerintah dan parlemen hendak menghapuskan hak monopoli Jasa Raharja atau tidak. Jasa Raharja mengaku tidak ada istilah siap atau tidak siap. Jika itu keputusan pemerintah, maka Jasa Raharja siap melaksanakannya.

Sebetulnya, jika ditelaah secara baik, hak monopoli yang dimiliki Jasa Raharja justru merugikan dirinya sendiri. Dengan menjadi pemain tunggal (single provider), jelas keunggulan Jasa Raharja menjadi tak teruji. Tolak ukur efisiensi pun sulit dibandingkan, karena tidak ada indikator perusahaan lain yang sejenis sebagai pesaing. Bahkan, perseroan akan cenderung bersikap pasif menunggu datangnya klaim saja yang diwajibkan undang-undang yang memang porsinya hampir 99% dari total penerimaan premi Jasa Raharja.

Selain itu, masyarakat pun cenderung tak merasakan asas manfaat dari perseroan. Inovasi produk jarang dilakukan. Bahkan, sikap pasif masyarakat itu, karena strategi pemasaran yang diwajibkan, menjadi tidak tertarik untuk lebih mengenal produk-produk lain dari perseroan. Akibatnya, perseroan pun menjadi sulit memasarkan produk lain. Karena itu, sudah saatnya Jasa Raharja melakukan transformasi diri lagi dengan membuka pasar kepada pihak lain. Kebijakan pemerintah mengenai hal ini ditunggu khalayak ramai.

* Artikel ini dibuat dalam rangka lomba karya tulis Asuransi Jasa Raharja memperingati 44 tahun usianya. Penulis berhasil menjadi juara Harapan I lomba tersebut.

0 comments: