Biro Kredit Indonesia Penting Diregulasi

Bagi Indonesia, kehadiran biro kredit memang mutlak dibutuhkan. Kehadiran lembaga yang khusus menyediakan informasi kredit itu jelas akan berperan penting tidak hanya bagi peningkatan kuantitas kredit, tapi juga kualitas kredit perbankan itu sendiri.

Apalagi, kondisi industri perbankan Indonesia paska krisis masih terbebani berbagai masalah yang muaranya berasal dari ketiadaan biro kredit tersebut. Sebut saja misalnya, penyaluran kredit perbankan yang hingga kini belum optimal, hingga penyakit kredit macet yang hingga kini masih menjadi beban berat bagi industri perbankan.

Data terakhir Bank Indonesia menjelaskan, hingga bulan Juli 2004, angka penyaluran kredit perbankan nasional baru mencapai Rp 530,2 triliun. Jika dilihat dari indikator loan to deposit ratio-nya, maka angka itu baru mencapai 47%, jauh dari angka tertinggi yang pernah dicapai perbankan pada bulan Juli 1997 sebesar 85%. Sementara, meski menunjukkan perbaikan, kualitas kredit perbankan masih berada di angka 7,4%.

Bank Indonesia pun menyadari bahwa peningkatan penyaluran kredit yang sangat berperan menopang kecepatan laju pertumbuhan ekonomi itu sangat membutuhkan keberadaan biro kredit. Karena itu, program pembentukan biro kredit pun menjadi salah satu inisiatif program Arsitektur Perbankan Indonesia untuk dilaksanakan pada tahun 2004-2005.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Bruce Bargon pada tahun 2001 atas bantuan Bank Pembangunan Asia berjudul “The Credit Information Environment in Indonesia-Opportunities for Credit Providers and Indonesian Business” pun telah menghasilkan 5 kesimpulan, yakni pertama, sebuah jasa informasi kredit kelas dunia dapat dikembangkan untuk Indonesia.

Kesimpulan kedua, jasa tersebut tidak hanya dibatasi untuk sektor perbankan atau terbatas untuk penyaluran kredit kepada UKM (Usaha Kecil Menengah). Tetapi juga termasuk untuk seluruh tingkatan kredit dan dapat dipergunakan sepanjang waktu termasuk oleh penyedia kredit selain sektor jasa keuangan. Ketiga, tidak ada halangan legal yang nyata untuk mendirikannya.

Keempat, jasa seperti ini belum ada. Satu-satunya sumber informasi kredit yang digunakan bersama adalah Bank Indonesia. Kesimpulan kelima, yang ironis, justru sistem informasi debitur yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia tidak dirancang untuk berfungsi seperti layaknya biro kredit. “Kondisinya sangat jauh dari praktek terbaik internasional dan tidak dapat menyediakan layanan yang sesuai standar. Meskipun terdapat beberapa aspek yang bernilai dan dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Peluang & Hambatan
Dari hasil kajian itu, kita bisa mengetahui secara jelas signifikansi dari perlu tidaknya biro kredit di Indonesia. Sebuah biro kredit, seperti dikemukakan ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo, sangat diperlukan bukan hanya sekedar menyediakan informasi akurat dan terkini terhadap track record para debitur, penabung dan mitra bank, tapi juga secara makro hal tersebut bermanfaat untuk mengurangi biaya transaksi kredit, proses agunan, penilaian terhadap nasabah, biaya pencarian informasi nasabah, serta potensial untuk mendorong ekspansi kredit perbankan.

Entah terkait atau tidak, hasil kajian ADB itupun kemudian disambut positif dengan hadirnya Biro Kredit Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2003. Lembaga itu didirikan oleh perorangan yg menekuni bidang pembiayaan bersama-sama para pengacara senior dari kantor hukum Lubis Ganie Surowidjojo sebagai salah satu pemegang sahamnya.

Pada awal pendiriannya, Biro Kredit Indonesia mengembangkan sistem dan prosedurnya dengan mendapat dukungan dari BAP Credit Bureau Inc, yakni lembaga penyedia informasi kredit negatif yang telah dikenal di Filipina semenjak tahun 1990.

Kendati telah memiliki kemampuan operasionalnya, terutama di bidang service delivery, BKI pun saat ini sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu biro kredit terkemuka di dunia sebagai aliansi strategis guna meningkatkankan posisinya terutama dalam aspek pengelolaannya
Bagaimana dengan perkembangannya? Direktur Pelaksana BKI, Hartono Parbudi mengaku, perkembangan biro kredit pertama di Indonesia itu sempat berjalan terhuyung-huyung selama 6-7 bulan pertamanya. Namun memasuki bulan kedelapan, BKI sudah mulai bisa berjalan dengan cepat.

Terbukti, hingga kini data yang telah terkumpulkan oleh BKI mencapai 105.733 data kredit negatif. Dengan total investasi sekitar Rp 3 miliar, biro kredit itu juga baru membukukan keanggotaan hampir sebanyak 30 institusi.

Dari perjalanan BKI yang baru 1 tahun itu, bisa dikatakan Biro Kredit Indonesia hingga kini belum bisa memaksimalkan kapasitas yang dimilikinya guna memenuhi tuntutan pasar. Hingga kini, masyarakat umum maupun para pelaku bisnis dan keuangan banyak yang belum mengetahui keberadaan BKI.

Hambatan terbesar justru datang dari lembaga keuangan bank yang hingga kini belum bersedia menjadi anggota dan lalu membagi data negatif yang dimilikinya. Bank takut memberikan laporan negatifnya ke BKI karena takut menyalahi aturan Bank Indonesia, apalagi diketahui adanya rencana Bank Indonesia yang akan mengembangkan biro kredit sejenis, di mana kepemilikannya akan diserahkan pada para pelaku lembaga keuangan.

Jika Biro Kredit Indonesia tak mampu memperbaiki aspek kualitas maupun kuantitas data-datanya, maka niscaya BKI akan kalah tersaingi dengan lembaga baru bentukan BI tersebut. Jika hal itu tidak ingin terjadi, mungkin BKI bisa menjalin kerjasama secara baik dengan biro kredit bentukan BI. Atau, strategi lainnya, membuka diri agar kepemilikan BKI sama-sama dimiliki oleh para pelaku lembaga keuangan. Dengan seperti itu, maka keengganan mereka untuk menyerahkan data negatifnya, sedikit terkurangi.

BKI tidak melihat rencana pembangunan credit bureau oleh Bank Indonesia sebagai ancaman, malah menganggapnya sebagai compliment, apalagi kalau pada waktunya nanti, data negative dari keduanya dapat digabung atau di link. Data negative yang disediakan oleh BKI kebanyakan tidak tersedia pada Sistim Informasi Debitur Bank Indonesia, karena banyak berasal dari pembiayaan non-bank.

Kebutuhan Regulasi
Selain masalah di atas, keberadaan biro kredit pun membutuhkan sejumlah regulasi. Di Amerika, lembaga sejenis biro kredit yang dinamakan Consumer Reporting Agencies (CRA) telah dibatasi oleh sejumlah undang-undang, seperti Fair Credit Reporting Act, Fair Credit Billing Act, dan Fair Debt Collection Act.

Pada undang-undang mengenai pelaporan kredit secara baik (Fair Credit Reporting Act), diatur seseorang berhak mengetahui seluruh laporan kredit atas dirinya, termasuk sumber informasinya. Selain itu, berhak juga mengetahui pihak-pihak manakah yang telah menerima laporan kredit atas dirinya selama 12 bulan terakhir, serta berhak mendapatkan fotokopi gratis laporan kredit, jika ternyata aplikasi kredit orang tersebut ditolak akibat informasi dari CRA.

Sementara itu, pada undang-undang kedua mengenai laporan transaksi yang baik (Fair Credit Billing Act) diatur mekanisme ganti rugi jika debitur menerima laporan transaksi yang tak sesuai dari kreditur. Sebagai contoh, jika ada perhitungan yang salah, tanggal transaksi, dan jumlah, maka dapat dikenakan ganti rugi.

Undang-undang terakhir yang mengatur tata cara penagihan utang yang baik jelas-jelas dibuat untuk membatasi perilaku debt collector yang sewenang-wenang.

0 comments: