Thursday, March 16, 2006

Masa Depan BRI di Bawah
Kepemimpinan Sofyan Basir



“Jangan pernah ragu bahwa sekelompok kecil orang yang mempunyai komitmen kuat dapat mengubah dunia. Bahkan, sebenarnya merekalah yang pernah berhasil mengubah dunia” (Margaret Mead)

Salah satu kutipan Margaret Mead di atas memang seolah-olah sangat menonjolkan peran sekelompok orang dalam membawa perubahan. Boleh percaya atau tidak, namun faktanya, sejarah dunia ini sering kali berubah oleh kepemimpinan dan visi seseorang.

Tengok saja, bagaimana sosok manusia, seperti Einstein dengan temuan teori relativitasnya, Alexander Graham Bell dengan temuan teleponnya, James Watt dengan mesin uapnya, hingga William Shockley, dan Bill Gated masing-masing dengan temuan semi konduktor, dan perangkat lunak (software) Microsoft telah banyak mengubah wajah dunia ini.

Dalam teori organisasi dan manajemen sekali pun, kita tak bisa menampikan begitu saja kepemimpinan seseorang. Sukses tidaknya sebuah organisasi, baik pemerintah maupun perusahaan, juga tak terlepas dari peran serta seorang pemimpin.

Seorang pemimpin, mulai dari CEO (Chief Executive Officer) hingga Kepala Negara, dituntut untuk memiliki visi masa depan yang kuat. Dengan visi tersebut, seorang CEO harus mampu membawa ratusan hingga ribuan karyawannya bergerak secara serentak menuju satu titik yang lebih baik.

Banyak contoh yang bisa dipelajari dari para CEO dunia, seperti Ray Kroc pendiri restoran cepat saji Mc Donald, Soichiro Honda pendiri industri otomotif terbesar di Jepang dengan merk Honda, hingga Bill Gates pendiri dan CEO Microsoft. Sementara, pada sisi pemerintahan, sosok Bung Karno dan Mahatma Gandhi dapat menjadi contoh kecil dari betapa pentingnya peran seorang pemimpin yang visioner.

Kutipan pernyataan Mead di atas juga menekankan pula pada kekuatan dan kekompakan sebuah manajemen (the power of management). Berhasil tidaknya visi seorang CEO jelas sangat tergantung pada bagaimana pemimpin itu mampu membentuk tim manajemen yang kuat dan kompak.

Selain itu, sering kali terjadi, manajemen ‘lama’ sulit memahami visi CEO yang baru. Paling tidak butuh waktu lama untuk melakukan konsolidasi, atau yang tragis, CEO baru itu akhirnya terpaksa merombak jajaran manajemen lama, karena sulit diajak bekerjasama.

Prestasi Rudjito

Dalam usianya yang telah genap 110 tahun, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk memang ibarat sebuah pohon tua dengan akar-akarnya yang kuat menancap di dalam tanah. Sebagai perusahaan yang sudah sangat tua, pergantian pucuk pimpinan di bank itu niscaya tidak akan membuat guncang dan layu tanaman tersebut, selama akarnya tidak tercabut dan kondisi tanahnya masih subur.

Pergantian jajaran direksi dan komisaris BRI pada tanggal 17 Mei 2005 lalu memang merupakan suatu keharusan. Ketika itu, pemerintah selaku pemegang mayoritas saham BRI sepakat menunjuk Sofyan Basir sebagai direktur utama BRI menggantikan Rudjito, dirut BRI yang memegang kendali BRI selama 5 tahun. Sofyan turut didampingi oleh jajaran direksi lain yang sebagian besar adalah direksi lama di masa kepemimpinan Rudjito.

Selama 5 tahun dikendalikan Rudjito, BRI dapat dikatakan mengukir prestasi yang terbaik. Betapa tidak, dengan falsafah kepemimpinannya, banyak bicara, banyak bekerja, dan banyak hasilnya, Rudjito akhirnya bersama direksi lainnya mampu membawa BRI lebih baik di segala hal.

Dari sisi kinerja keuangan, setidaknya ada 5 indikator yang memperlihatkan keberhasilan Rudjito memimpin BRI. Indikator pertama, perolehan laba operasional BRI meningkat 4.321% dari semula hanya Rp 133 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 5,88 triliun pada tahun 2004.
Peningkatan laba operasional itu tentu saja turut mendongkrak perolehan laba bersih BRI pula. Selama 5 tahun, laba bersih BRI naik 1.056%, dari Rp 339 miliar menjadi Rp 3,92 triliun. Inilah indikator kedua keberhasilan Rudjito.

Indikator ketiga adalah return on assets (ROA) BRI yang naik 748,5% dari 0,68% menjadi 5,77%. Berikutnya, Rudjito juga berhasil memupuk modal BRI sehingga menembus angka Rp 12,26 triliun pada tahun 2004, atau naik 226% dari tahun 2000. Terakhir, untuk pertama kalinya pula selama 110 tahun, aset BRI menembus angka psikologis sebesar Rp 107,04 triliun pada 2004 lalu.

Pencapaian kinerja BRI tersebut memang tampak sangat luar biasa. Apalagi kalau melihat faktor-faktor eksternal berupa kondisi ekonomi makro di jaman itu yang memang tidak sebaik kondisi saat ini. Buku Laporan Tahunan BI tahun 2000, misalnya, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika itu hanya mencapai 4,8%.

Tingkat inflasi pada tahun 2000 mencapai 9,35%, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia 1 bulan di posisi 14,5%, dan deposito 1 bulan sebesar 12%. Sementara, suku bunga kredit modal kerja dan investasi masing-masing sebesar 17,7% dan 16,9%.

Belum lagi ditambah kondisi internal BRI yang harus melewati fase rekapitalisasi pada awal tahun 2000 yang diikuti langkah restrukturisasi, revitalisasi, hingga privatisasi menjadi perusahaan terbuka pada 10 November 2003 lalu.

Saat ini, (sebelum kenaikan BBM dan GWM,pen), kondisi makro ekonomi sudah makin membaik dan kondusif bagi bisnis perbankan. Tingkat inflasi pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 6 plus minus 1%. Bahkan, tingkat inflasi jangka menengah panjang hingga 3 tahun mendatang akan diusahakan oleh Bank Indonesia sebesar 3%. Meski pun belakangan, tingkat inflasi akibat dinaikkannya harga BBM melambung hingga menembus 15,65% (periode Januari-Oktober 2005).

Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2005 ditargetkan dapat mencapai 5-6%. Bahkan, hingga tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan rata-rata pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7%. Belakangan, BI merevisi target tersebut menjadi hanya 5,2-5,7%.

Demikian pula halnya dengan suku bunga. Meski meningkat tipis sebesar 4 basis poin, namun suku bunga deposito 1 bulan saat ini sebesar 6,5% masih memberikan tingkat keuntungan (spread margin) yang sangat besar. Tercatat, suku bunga kredit modal kerja dan investasi masing-masing sebesar 13,31% dan 13,78%.

Selain itu, Rudjito juga mewariskan pada Sofyan Basir kondisi kesehatan BRI yang kuat. Rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 17,89%. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) hanya 4,19%. Rasio penyaluran kredit (LDR) relatif tinggi, yakni 75,69% dengan tingkat efisiensi (BOPO) sebesar 67,03%.

Tantangan Sofyan
Pergantian jajaran direksi dan komisaris BRI pada tanggal 17 Mei 2005 lalu memang merupakan suatu keharusan. Ketika itu, pemerintah selaku pemegang mayoritas saham BRI sepakat menunjuk Sofyan Basir sebagai direktur utama BRI. Sofyan turut didampingi oleh jajaran direksi lain yang sebagian besar adalah direksi lama di masa kepemimpinan Rudjito.

Sebut saja, misalnya Wayan Alit Antara yang menempati posisi wakil direktur utama, Ahmad Askandar direktur operasional, Hendrawan Tranggana direktur kepatuhan, Akhmad Amien Mastur direktur bisnis menengah, dan Gayatri Rawit Angreni direktur pengendalian kredit. Hanya ada satu wajah baru di jajaran direksi BRI, yakni Ventje Rahardjo yang menjadi direktur bisnis mikro dan ritel menggantikan posisi Krisna Wijaya.

Sementara itu, pada jajaran komisaris, Rudjito masih dipercaya pemerintah untuk mengawal BRI selama 5 tahun mendatang sebagai komisaris utama. Selain Rudjito, ada pula Cyrillus Harinowo, Bunasor Sanin, dan Aviliani masing-masing sebagai komisaris independen. Ada pula Krisna Wijaya, B.S. Kusmuljono dan Sunarsip sebagai komisaris.

Dengan struktur direksi yang tidak banyak berubah, tentu saja memberikan manfaat besar. Apalagi dengan tetap hadir sebagai komisaris, maka setidaknya Rudjito dan Krisna Wijaya bisa terus mengarahkan BRI untuk 5 tahun ke depan. Sayangnya, Rudjito dan Krisna justru diberi amanat baru untuk memimpin Lembaga Penjamin Simpanan.

Namun, pertanyaan yang justru menggelitik adalah sanggupkah Sofyan Basir pengganti Rudjito menggapai prestasi yang sama dan bahkan melebihinya. Secara sepintas, dengan kondisi makro ekonomi yang makin baik seharusnya peluang tersebut sangat besar.

Dengan asumsi perekonomian masa mendatang lebih baik, maka Sofyan setidaknya harus mampu menyamai prestasi Rudjito dalam 5 tahun mendatang. Indikatornya sederhana saja, yakni laba operasional BRI harus mampu meningkat 4.321%, laba bersih BRI harus naik 1.056% dan return on assets (ROA) BRI minimal naik 748,5%.

Sayangnya, untuk mencapai prestasi tersebut tidaklah mudah. Paling tidak, manajemen baru BRI di bawah kepemimpinan Sofyan harus mampu merumuskan strategi yang tepat untuk menghadapi beberapa tantangan di depan mata. Pertama, menghadapi kompetisi dari bank-bank yang makin gencar bermain di kredit mikro. Kedua, menghadapi perubahan industri perbankan yang makin cepat, baik dari sisi pelayanan hingga teknologi. Ketiga, menghadapi persoalan keterbatasan permodalan, di mana pemerintah tak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya ‘pencari nafkah’. (Efendi-wartawan Investor Daily)

No comments:

Post a Comment

Please give your opinion about my articles..thank you very much..
For contact and talk with me please send me an email to
pendie77@gmail.com