Thursday, March 16, 2006

Quo Vadis Permata Bank:
Sleeping Giant Bank yang Terus Berlanjutkah?


Tidak terasa sudah lebih setengah tahun konsorsium Standard Chartered Bank dan Astra International menguasai penuh kepemilikan PT Permata Bank Tbk. Konsorsium ini memenangkan persaingan memperebutkan divestasi 51% saham Permata Bank dengan mengalahkan konsorsium ANZ-Bank Panin, Maybank-Jamsostek, dan Commerce Asset Holding Berhad Malaysia di bulan Oktober lalu.

Ketika itu, konsorsium SCB-AI harus merogoh koceknya sebesar Rp 2,77 triliun. Konsorsium kemudian menambah kepemilikan sahamnya di Permata Bank menjadi 63,1%. Sehingga, total kocek yang harus dikeluarkan konsorsium adalah sebesar Rp 3,931 triliun.

Setelah membeli Permata Bank, Standard Chartered Bank melangkah kembali dengan mengakuisisi Korea First Bank pada 10 Januari 2005 senilai US$ 3,3 miliar atau Rp 29,7 triliun (kurs Rp 9.000). Korea First Bank merupakan bank ketujuh terbesar di Korea Selatan dengan total aset sebesar US$ 42 miliar. Total nasabahnya terdiri dari 3,2 juta nasabah ritel, 67.900 nasabah korporasi, 1,2 juta kartu kredit dan 2,4 juta klien e-banking.

Akuisisi dua bank yang dilakukan Standard Chartered Bank merupakan upaya pintas untuk memperbesar ekspansi bisnisnya, baik di Korea Selatan maupun Indonesia. Seperti diketahui, Standard Chartered Bank merupakan bank tertua yang beroperasi di kedua negara ini. Di Korea, Standard Chartered membuka cabang pertamanya pada tahun 1880. Sedangkan, di Indonesia, SCB memulai operasinya tahun 1863.

Meski sudah sangat tua, namun kehadiran Standard Chartered Bank di Korea maupun Indonesia boleh dikatakan sangat minimalis. Di Indonesia misalnya, meski sudah berusia 139 tahun, namun total asetnya per Desember 2004, justru baru mencapai Rp 14,6 triliun dan penyaluran kredit hanya Rp 5,5 triliun. Rasio kecukupan modal bank ini juga sangat terbatas di posisi 9,16%.

Angka ini pun relatif tidak berbeda jauh dari keadaan di tahun 2002. Total aset Standard Chartered Bank Indonesia mencapai Rp 11,16 triliun dan penyaluran kredit sebesar Rp 4,9 triliun. Rasio kecukupan modal Standard Chartered Bank Indonesia berada di posisi 13,39%.

Karenanya, betapa beruntungnya Standard Chartered, ketika Astra International yang digandengnya berhasil mendapatkan Permata Bank. Rezeki nomplok ini dapat dikatakan merupakan bagian dari keinginan Standard Chartered untuk lebih memperbesar peranannya dalam perekonomian Indonesia.















Belum Berpengaruh

Namun, selama 6 bulan mengendalikan Permata Bank, sentuhan tangan-tangan dingin dari para bankir global yang ada di Standard Chartered Bank pusat belum tampak sama sekali. Tidak hanya itu, sekedar pengutaraan visi pun sangat jarang diutarakan oleh pihak konsorsium. Kecuali hanya pernyataan dari mantan dirut Permata Bank, Agus Martowardojo yang kini menangani Bank Mandiri bahwa ketika itu Permata Bank akan dijadikan bank fokus terbaik di Indonesia. That’s all.

Padahal, visi yang hendak digapai Permata Bank adalah ingin menjadi penyedia jasa keuangan yang terkemuka dan profesional, yang memiliki hubungan yang erat dengan nasabah dan secara konsisten memberikan pengalaman interaksi yang terbaik bagi nasabah.

Misi yang hendak dijalankan pun cukup berat, yakni menjalankan usaha dengan berhati-hati dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Selain itu, Permata Bank mempunyai misi menjadi bank yang menyediakan produk dan jasa yang memberikan solusi atas kebutuhan keuangan nasabah dengan menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme. Mempekerjakan karyawan dengan membekali pelatihan-pelatihan serta memberikan penghargaan atas prestasi kerja. Serta bank yang melayani seluruh lapisan masyarakat dengan mempertahankan standar kualitas yang tinggi serta berusaha menjadi panutan dalam pelaksanaan tata kelola yang baik.

Belum nampaknya keberhasilan sentuhan tangan dingin Standard Chartered terlihat jelas dari kinerja selama 6 bulan terakhir (Desember 2004-Maret 2005). Bila dibandingkan sebelum dan sesudah divestasi, maka terlihat kinerja Permata Bank relatif tidak berkembang bahkan cenderung stagnan.

Dari sisi kredit, Permata Bank hanya mampu menggenjot kredit dari Rp 10,53 triliun pada triwulan I 2004 menjadi Rp 13,72 triliun setahun kemudian, atau hanya naik Rp 3,19 triliun. Perolehan laba operasional dan laba bersih pun masing-masing hanya naik Rp 53 miliar dan Rp 5 miliar. Itu pun sudah diberi subsidi dari Pemerintah berupa pembebasan pajak sama sekali.

Yang menarik, baik Permata Bank maupun Standard Chartered Bank Indonesia, sama-sama memiliki keterbatasan yang sama untuk berkembang lebih lanjut. Masalah modal!

Hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal Permata Bank yang relatif tidak bergerak jauh dari kisaran 10,8-13% selama tahun 2003-2005. Sementara, pergerakan CAR Standard Chartered Bank Indonesia berada di kisaran 9,16-13,39%.

Ada beberapa faktor yang memang bisa menjadi alasan kenapa pihak konsorsium hingga kini belum mampu berbuat suatu gebrakan berarti. Faktor pertama adalah permasalahan internal berupa konsolidasi merger yang belum selesai. Seperti diketahui, Permata Bank merupakan gabungan dari 5 bank, yakni PT Bank Bali Tbk, PT Bank Universal Tbk, Bank Prima Express, Bank Artamedia, dan Bank Patriot.

Faktor merger ini tampaknya membuat Permata Bank harus berhati-hati dan cenderung kompromistis agar tidak menimbulkan keresahan pada karyawan bank yang berjumlah 6.222 orang ini.

Faktor kedua adalah tarik-menarik kepentingan antara pihak Standard Chartered Bank dan Astra International. Di satu sisi, Standard Chartered Bank cenderung ingin memasarkan produk-produk perbankannya melalui Permata Bank. Atau, setidaknya membuat produk yang mirip di Permata Bank. Hal ini terlihat dari posisi Permata Bank yang menjadi supermarket reksadana, sama seperti yang sudah dilakukan Standard Chartered Bank Indonesia.

Sementara itu, pihak Astra menginginkan bisnis otomotifnya dapat ditunjang sepenuhnya oleh Permata Bank. Akibatnya, dalam 6 bulan terakhir, Permata Bank cenderung memfokuskan diri menggenjot kredit otomotif, terutama kendaraan roda empat. Beberapa event, seperti Jakarta Motor Show 2004 dan promo bertajuk ‘datang, tunjuk, bawa pulang’ menjadi bukti Permata Bank hanya menjadi alat pemasaran dan kepentingan dari Astra International.

Pada 2004 saja, Permata Bank telah memiliki perjanjian kerja sama dengan 9 distributor utama Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM), termasuk Auto 2000 (Toyota), Astra Mobil (Daihatsu, Peugeot, Isuzu, Nissan Diesel), BMW Indonesia, Hyundai Mobil Indonesia, Daimler Chrysler Distribution Indonesia (Mercedes Benz), dan General Motor Autoworld Indonesia (Chevrolet). Tiga distributor utama sepeda motor Honda di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Aceh/Riau berikut 18 perusahaan pembiayaan dan kurang lebih 200 dealer di seluruh Indonesia.

Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah fleksibilitas yang diberikan kantor pusat Standard Chartered Bank pada Permata Bank boleh dikatakan sangat minimalis. Sehingga, tampaknya selama 6 bulan ini, tim Permata Bank masih menunggu lampu hijau dari London. Sementara, Standard Chartered Bank sendiri kemungkinan besar masih mencari pola dan model bisnis yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.

Arah Permata Bank
Agus Martowardojo, mantan dirut Permata Bank yang kini pindah ke Bank Mandiri pernah menyatakan bahwa Permata Bank ingin menjadi bank fokus terbaik yang bergerak di bidang UKM, komersial, dan konsumer. Di kedua bidang terakhir ini, Permata Bank memang sudah memperlihatkan gebrakan yang cukup berarti.

Di bidang konsumer, Permata Bank dengan keunggulan Astra Internasional dapat menjadi bank yang unggul pada produk kredit kendaraan bermotor. Selain itu, produk kartu kredit Permata Bank telah menempati posisi ke-7 dan ke-9 versi Visa International dan Master Card dengan 236 ribu pemegang kartu, dan volume transaksi mencapai Rp 1,2 triliun.

Di bidang komersial, Permata Bank memiliki keunggulan pula di bidang supply chain omototif dan kelapa sawit. Dengan pola inti plasma, Permata Bank mampu memberikan kredit pada petani plasma sebanyak 18.933 petani dan luas lahan kebun sawit 37.865 hektar milik grup Astra, Wilmar, Sinar Mas, dan Guthrie.

Yang menarik, meski Permata Bank mengklaim diri sebagai bank yang fokus pada usaha kecil dan menengah, belum tampak sama sekali gebrakan di sektor ini. Cukup aneh bila Standard Chartered Bank selaku pemegang saham Permata Bank tidak melirik bisnis ini sama sekali. Padahal, pemain sekaliber Temasek Holding telah menjadikan bisnis UKM sebagai lahan potensial di masa mendatang meniru kesuksesan yang sudah dibangun Bank Rakyat Indonesia.

Selain itu, baik Astra Internasional maupun Standard Chartered Bank perlu memikirkan bagaimana memenangkan persaingan dan kompetisi yang sengit dari 9 bank terbesar di Indonesia. Strategi tersebut harus diciptakan oleh SCB dan AI, bila memang mereka adalah pemain-pemain internasional dan berpengalaman. Jika tidak, maka pilihan yang mudah memang tinggal menjadikan Permata Bank sekedar bank fokus terbaik di Indonesia saja. Cuek saja, dan every one can do this vision, sir.

No comments:

Post a Comment

Please give your opinion about my articles..thank you very much..
For contact and talk with me please send me an email to
pendie77@gmail.com