Bermimpi Soal (Modernisasi) Jamsostek*

Joko (31 tahun), bukan nama sebenarnya, pegawai swasta di bilangan Thamrin, mengaku cemas dengan masa tuanya. Meski perusahaan tempat dia bekerja sudah mengikutsertakannya ke dalam program PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan sebuah dana pensiun lembaga keuangan, Joko mengaku perlindungan terhadap hari tuanya dirasakan belum mencukupi.

Dia pun lantas membeberkan alasannya. Selama enam tahun bekerja, saldo iuran Jamsosteknya baru berjumlah Rp 8,8 juta. Itupun sebagian besar dari akumulasi iuran sebesar Rp 7,85 juta dan hasil investasinya hanya Rp 991 ribu.

Sedangkan saldo DPLK miliknya sedikit lebih baik, yakni Rp 14,44 juta. Itu pun sudah termasuk akumulasi iuran berjumlah Rp 13,83 juta. “Itu berarti, hasil pengembangan dana saya, baik di Jamsostek maupun DPLK saya, tidak maksimal, karena dalam lima tahun, hanya membuahkan hasil Rp 991 juta dan Rp 612 ribu,” ujar dia dengan suara lirih.

Melihat kondisi seperti itu, wajar saja, jika Joko merasa cemas. Dia lantas menghitung-hitung, dalam 20 tahun mendatang, ketika dirinya berusia 51 tahun dan akan memasuki masa pensiun, paling saldonya di Jamsostek Rp 54 juta dan DPLK hanya Rp 84 juta.

“Bagaimana dengan nasib pendidikan anak-anak saya nanti,” tutur dia.

Oleh karena itu, dia pun tergiur dengan tawaran dari sebuah perusahaan asuransi yang tengah gencarnya memasarkan produk unit linked berbasis saham. “Saya melihat dari proyeksi yang dibuatnya, hanya dengan menyetor Rp 350 ribu, dalam 20 tahun, uang saya mungkin bisa berkembang menjadi Rp 700 juta,” kata dia.

Hambatan JHT

Kisah Joko di atas mungkin menjadi gambaran umum bagaimana skema dan sistem jaminan hari tua dan pensiun belum terbangun secara baik. Aspek pelayanan dari sistem jaminan sosial ini memang patut disorotin, karena dari tiga produk lainnya milik Jamsostek, yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan kematian, boleh dikatakan sudah maksimal.

Apalagi pada 10 Desember lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menaikkan jumlah santunan JKK dan JK. Santunan JK dinaikkan dari sebelumnya Rp 6 juta dan biaya pemakaman Rp 1,5 juta menjadi Rp 10 juta dan Rp 2 juta. Sedangkan santunan kematian karena kecelakaan kerja juga naik cukup signifikan, yakni dari 60% dikalikan 70 bulan upah menjadi 60% dikalikan 80 bulan upah dan biaya pemakaman dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2 juta.

Ini berarti Jamsostek sudah mampu memainkan fungsinya sebagai jaring pengaman sosial (social safety net)bagi anggota keluarga pekerja yang tertimpa musibah, entah itu cacat tetap maupun meninggal dunia. Di sisi lain, peran JHT dirasakan belum optimal seperti penuturan Joko sebelumnya.

Direktur Operasional Jamsostek Ahmad Ansyori mengakui, rata-rata saldo JHT peserta terbilang relatif rendah, yakni berada di kisaran Rp 85 juta, meski pekerja sudah aktif menjadi peserta Jamsostek selama 30 tahun, yakni dari tahun 1978-2007.

Menurut dia, pengembangan dana JHT lebih optimal terhambat oleh berbagai faktor. Pertama datang dari Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek. Dalam PP itu ada pasal yang memperbolehkan si tenaga kerja untuk mengambil dana JHT-nya, bila sudah menjadi peserta selama lima tahun, kemudian berhenti bekerja.

“Pengambilan JHT sebelum usia 55 tahun berdampak pada tidak efektifnya manfaat JHT. Sebagai contoh, si A bekerja pada usia 23 tahun, lalu dia berhenti bekerja dari perusahaan X pada usia 30 tahun dan mengambil JHT-nya. Si A kemudian bekerja lagi di perusahaan baru yaitu Y dan dalam kurun waktu tidak lama, si A berhenti lagi dan mengambil JHT-nya lagi. Kalau JHT-nya diambil terus, lalu ketika masuk usia pensiun, dia akan dapat apa?,” tanya Ansyori.

Kondisi di atas membuat manajemen Jamsostek tidak dapat berbuat optimal untuk mengembangbiakkan dana JHT. Apalagi rasio klaim JHT terhadap iuran terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, ketika dimulai tahun 1978, rasio klaim JHT terhadap iuran baru mencapai 0,38%, namun sepuluh tahun kemudian menjadi 10,92% dan 53,94% pada 1998 dan 53,6% pada akhir tahun lalu.

Selain faktor tersebut, sebetulnya ada beberapa faktor lain, yang penulis anggap turut menyumbang ketidakoptimalan JHT. Pertama, banyak perusahaan yang menunggak dan suka telat membayar iuran Jamsosteknya, meski gaji karyawannya udah dipotong tiap bulan. Belum lagi banyak perusahaan yang tidak melaporkan upah sebenarnya para karyawannya.

Kedua, tidak adanya perjanjian yang dibuat antara manajemen Jamsostek dan peserta soal tingkat pengembalian investasi untuk tiap tahun. Akibatnya, manajemen dan seluruh karyawan Jamsostek tidak termotivasi untuk bekerja seoptimal mungkin.

Terobosan
Kondisi di atas sebetulnya dapat diperbaiki oleh manajemen Jamsostek dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan dan partisipasi para pekerja. Manajemen, misalnya, dalam jangka pendek, bisa membuat layanan seperti short message service (SMS) banking dan memfungsikan kartu peserta Jamsostek seperti layaknya kartu ATM bank.

Melalui layanan pertama, perusahaan dapat langsung memberitahukan melalui pesan singkat kepada setiap peserta bahwa pada hari dan jam sekian, perusahaan sudah menyetorkan iuran Jamsostek sebesar nilai tertentu. Dengan pemberitahuan ini, para pekerja bisa mengetahui sekaligus mengontrol, apakah memang pihak perusahaan sudah menjalankan kewajibannya.

Kedua, dengan berfungsinya kartu peserta Jamsostek seperti ATM, para pekerja setiap saat bisa mengecek saldo iurannya. Bisa juga manajemen mengirimkan laporan perkembangan iuran tiap-tiap peserta, apakah tiga bulan atau enam bulan sekali.

Ketiga, manajemen juga bisa membuat produk hybrid/campuran, sehingga kemasan JHT bisa seperti unit linked plus asuransi PHK. Artinya, masa lock up JHT diperpanjang dari semula 5 tahun menjadi 10 tahun. Selain itu, peserta juga diperkenankan untuk menambah (top up) iurannya. Untuk merangsangnya perlu ada komitmen sungguh-sungguh dari manajemen Jamsostek untuk menjamin hasil investasi JHT bisa mencapai persentase tertentu.

Lalu, jika pekerja tiba-tiba terkena PHK setelah lima tahun menjadi peserta? Jamsostek bisa saja memberikan klaim asuransi pesangon atau bentuk lainnya, seperti memberikan bantuan sosial tiap bulan, uang untuk hidup dalam jumlah tertentu, sambil membantu (atau pun menampung) pekerja mencarikan pekerjaan.

Solusi jangka panjangnya adalah memiliki bank. Betapa hebatnya, jika Jamsostek bisa memiliki bank umum yang fokus bisnisnya, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) ataupun Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Jika memiliki bank, dana iuran peserta Jamsostek bisa sebagian atau seluruhnya disimpan ke bank tersebut.

Bank tersebut, dengan cost of fund yang sangat murah, karena mendapat dana gratisan (tidak membayar bunga simpanan), bisa langsung menyalurkan kredit UMKM dan perumahan dengan bunga rendah pula. Katakanlah 1-2% lebih rendah dari suku bunga bank-bank umum.

Selain itu, bank tersebut juga bisa membiayai kredit pemilikan rumah dengan bunga dan uang muka sangat murah. Katakanlah 8% pertahun atau 0,5% di atas laju inflasi. Dengan demikian, program peningkatan kesejahteraan pekerja (PPKP) berupa pinjaman uang muka untuk memiliki rumah bisa efektif. Bahkan, termasuk program pembangunan rumah susun sederhana sewa/milik (rusunawa/rusunami), di mana perseroan membangun rumah sederhana untuk kemudian disewakan ke pekerja dengan harga terjangkau.
(Efendi, wartawan Investor Daily)

* Tulisan ini memenangkan lomba The Second Jamsostek Journalism Award 2008
Juara Harapan I

0 comments: