Ketimpangan Ekonomi Kian Melebar

Hentikan Laju Kesenjangan


Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat sejak 2000 tidak diikuti dengan pemerataan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 40% golongan menengah dan 20% golongan terkaya.


Oleh Efendi


JAKARTA, Investor Daily

Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro mengatakan, sebanyak 40% kelompok penduduk berpendapatan terendah makin tersisih. Kelompok penduduk ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi 19,2% pada 2006, makin mengecil dari 20,92% pada 2000. Sebaliknya, 20% kelompok penduduk terkaya makin menikmati pertumbuhan ekonomi dari 42,19% menjadi 45,72%.


“Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan ekonomi juga makin membesar dari 0,29 menjadi 0,35,” ujar Mudrajad pada acara The Second International Wealth Manager’s Conference 2007 yang digelar Certified Wealth Manager’s Association (CWMA) di Hotel Shangrila Jakarta, Kamis (22/11).

Menurut dia, ketimpangan ekonomi terlihat pada pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) dari 834 poin pada awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi 2.642 pada 17 Oktober 2007. Namun, kenaikan IHSG tidak bermanfaat banyak bagi pertumbuhan sektor riil.

Berdasarkan laporan Merrill Lynch, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, pertumbuhan orang-orang superkaya (high net worth individual/HNWI) di Indonesia mencapai 16%, atau peringkat ketiga tertinggi setelah Singapura dan India. Pertumbuhan HNWI di kawasan Asia Pasifik mencapai 8,6%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan secara global sebesar 8,3%.

Pertumbuhan HNWI ini turut ditopang oleh kondisi pasar keuangan dunia yang bullish sepanjang 2007. Bursa saham Tiongkok tumbuh 116%, India 63%, dan Indonesia 45%.

Namun, Agus menyoroti dua hal penting yang menjadi perhatian dunia pada tahun ini, yakni kenaikan harga minyak mentah yang tembus hingga US$ 100 per barel dan krisis subprime mortgages. “Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat tahun depan dari 5,4% menjadi 5,2%,” jelas dia.

Di Yogyakarta, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengungkapkan, tingginya angka kemiskinan nasional antara lain akibat adanya monopoli kepemilikan aset ekonomi oleh segelintir orang. Angka nasional

menyebutkan, 0,2$ dari 220 juta pendudukan Indonesia diduga telah menguasai 56% aset ekonomi Indonesia.

Monopoli kepemilikan asset itu meliputi kekayaan dalam hal agraria, seperti tanah, tambak, kebun dan properti. "Sebanyak 62-87% aset itu berupa aset agraria. Data ini memang perlu dikaji lebih mendalam dan belum bisa menjadi acuan, karena baru merupakan data awal," kata Joyo Winoto ketika berceramah di Universitas Gajah Mada (UGM), Kamis (22/11)

Ketimpangan akses terhadap aset agraria itu, memicu angka penduduk miskin di desa mencapai 65% yang notabene menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Mnopoli kepemilikan tanah dan aset agraria itulah juga banyak memicu konflik dan sengketa tanah di seluruh penjuru tanah air.

Dia menambahkan, hampir semua masalah sengketa tanah muncul setelah melalui proses lama, turun-menurun, pewarisan tanah yang umurnya lebih dari 30 tahun. Berdasarkan data dari sejumlah LSM, tercatat 1.798 sengketa tanah di dalam dan di luar kawasan hutan melibatkan sekitar 2,2 juta orang .

Sedangkan dari penelusuran yang dilakukan BPN, jumlah sengketa tanah jauh lebih banyak, mencapai 7.498 kasus. Ironisnya, di luar Jawa, banyak tanah yang sudah didaftar sebagai milik seseorang justru diterlantarkan. Penelitian BPN mencatat, di 16 provinsi terdapat 7,15 juta hektare lahan terlantar. Akibatnya, rakyat Indonesia kehilangan potensi ekonomi hingga Rp5.746 triliun," katanya.

Investasi Lemah

Selama 2002-2006, jelas Mudradjad, ekonomi Indonesia mampu tumbuh dari 4,9% menjadi 5,5%. Namun rata-rata pertumbuhan ekonomi selama enam tahun masih lebih rendah dibanding 2000 yakni 4,6% berbanding 4,9%. Motor penggerak pertumbuhan ekonomi pun masih ditopang oleh konsumsi, dari 2% menjadi 3,2% atau rata-rata 3,9%.

Sebaliknya, pertumbuhan sektor investasi justru anjlok menjadi 2,9% dari 16,7% pada 2000. Hal serupa terjadi pada ekspor dan impor Indonesia.Kegiatan ekspor turun dari 26,5% menjadi 9,2% dan aktivitas impor melambat dari 25,9% menjadi 7,6%. “Pertumbuhan investasi masih lemah dan belum sustainable dan ekspor netto masih tumbuh rendah,” tegas Mudradjad.

Mudrajad mengidentifikasi adanya empat masalah dasar perekonomian Indonesia. Pertama, relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi pascakrisis, yakni rata-rata hanya 4,5% per tahun. Kedua, masih tingginya angka pengangguran sebesar 9-10% dari total penduduk Indonesia. Ketiga, tingginya tingkat kemiskinan (16-17%). Keempat, rendahnya daya saing industri di Indonesia dan terjadi gejala industrialisasi di berbagai daerah.

Angka kemiskian selama 11 tahun terakhir (1996-2007) makin meningkat terutama pada wilayah perkotaan, yakni dari 9,6 juta menjadi 13,6 juta. Sedangkan total angka kemiskinan melonjak dari 34,5 juta menjadi 37,2 juta orang atau menyumbang 16,6% dari total penduduk Indonesia.

Dari tiga indikator, yakni pertumbuhan ekonomi, kenaikan investasi, dan nilai impor, menurut Mudradjad, pemerintahan Presiden SBY mampu mengalahkan Presiden Megawati. Namun, kelemahan SBY pada tiga indikator ekonomi lainnya, yakni laju inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI, dan nilai tukar rupiah.

Pada masa Megawati (2002-2004), laju inflasi rata-rata mencapai 8,2%, sedangkan pada masa SBY (2005-2007) sebesar 10%. Nilai tukar rupiah tercatat pada kisaran Rp 8.941 per dolar AS berbanding dengan Rp 9.343 per dolar AS.

Mudrajad juga menyoroti kian mengecilnya peranan sektor pertanian terhadap penciptaan lapangan usaha. “Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB berangsur-angsur dilampaui oleh sumbangan sektor industri manufaktur,” jelas dia.

Kontribusi sektor industri meningkat dari 8,5% pada 1968 menjadi 28,1% pada 2005. Sedangkan porsi sektor pertanian makin mengecil dari 51% menjadi 12% pada 2006. Pada sektor ini, ketimpangan ekonomi makin terlihat jelas. Menurut Mudrajad, sebanyak 13 juta petani hanya memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektare. (*)


0 comments: