Korban-Korban Malpraktik Derivatif (Bagian Satu)


Antara Boediono, Buffett, dan Senjata Pemusnah Massal

Oleh Efendi

“Saya memandang derivatif sebagai bom waktu, baik bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan sistem ekonomi. Derivatif juga bisa menjadi senjata pemusnah massal keuangan.”
Warren Buffett

JAKARTA-
Ada persamaan pendapat dan sikap antara Warren Buffet di atas dengan Boediono soal transaksi derivatif, meski keduanya berbeda status. Yang satu, Warren Buffet, dikenal sebagai investor sejati yang bersikap konservatif dan hati-hati terhadap berbagai kecanggihan instrumen yang ada di pasar modal.

Satunya lagi adalah Gubernur Bank Indonesia (BI). Tentu gaung dari seruan moral keduanya berbeda. Namun, sikap dan pendapat mereka tidaklah muncul begitu saja (taken for granted).
Pengalaman dan lingkungan pada akhirnya membentuk keduanya, sehingga opini mereka cenderung miring menanggapi mahkluk bernama derivatif itu, justeru di tengah kondisi banyak pihak menilai lumrah soal derivatif, bahkan seringkali piawai mempermainkannya.

Di saat krisis inilah, kita akhirnya melihat dan sadar betapa dahsyatnya kekacauan yang ditimbulkan dari aktivitas derivatif, suatu proses rekayasa keuangan yang sengaja memangkas total hubungan antara aktivitas sektor keuangan dan sektor riil.

Saking bahayanya, Boediono bahkan sampai menyerukan kepada ratusan bankir yang hadir dalam acara Bankers Dinner agar bank-bank kembali ke khittah (back to nature) sebagai lembaga intermediasi.

“Ajakan untuk kembali ke khittah berlaku bagi semua lembaga keuangan, khususnya perbankan. Fungsi utama perbankan adalah memfasilitasi dan membiayai semua kegiatan yang terkait dengan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan nyata,” tutur Boediono dengan suara tinggi.

Boediono pantas mengeluarkan imbauan itu, setelah menyaksikan betapa etika bisnis dan tanggung jawab moral bankir-bankir mulai tergerogoti oleh motif ketamakan, keserakahan, dan ego mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di Tanah Air, korban-korban pun mulai berjatuhan.
Ratusan korban menjadi korban dari produk dual currency deposit, yakni produk derivatif dengan patokan pergerakan nilai tukar yang dibungkus ibarat produk deposito. Banyak nasabah terkecoh dan menjadi korban.

Ada pula bank asing yang bertindak sebagai agen penjual dengan menawarkan produk Lehman Brothers yang dibundel dengan pergerakan indeks beberapa bursa saham, Hangseng China Enterprise Index, Kospi 200 Index, dan Tokyo Stock Exchange REIT Index. Mereka membabi-buta menawarkan kepada tiap nasabah “kaya” tanpa memperdulikan apakah mereka mengerti dan paham soal produk itu.

Tanpa menghiraukan etika dan tata cara penjualan, sistem pemasaran bank itu telah disetel pada level ambisius guna menawarkan produk itu, tanpa melihat dan memperhatikan lagi bagaimana kualitas staf pemasarannya.

Dalam praktiknya, seluruh divisi pemasaran bank asing itu bekerja bak mesin otomatis. Seluruh sensor digunakan untuk melihat apakah ada nasabah yang memiliki uang banyak. Namun, sayangnya, akibat target-target bisnis yang ambisius, etika pun dibuang jauh-jauh.

Mesin pemasarannya disetel dengan teknologi “kacamata hitam”, sehingga nasabah-nasabah yang diincar akan tampak seragam warnanya, hitam putih. Padahal, tiap nasabah memiliki derajat pemahaman terhadap produk-produk sophisticated yang berbeda-beda.

Kasus ini hampir mirip dengan apa yang terjadi dua-tiga tahun lalu, ketika booming soal pemasaran kartu kredit terjadi. Banyak orang yang menjadi nasabah bank ketika itu terkaget-kaget ketika tahu dia dikirimkan kartu kredit. Padahal, dia merasa tidak pernah mengajukan permohonan dan tidak mengerti sama sekali menggunakan kartu kredit.

Hingga kini pun kita masih menemui promosi kartu kredit gaya “kaki lima” di mal-mal. Staf-staf dari berbagai bank, bahkan ada yang menggunakan jasa outsourcing, mendekati dan membujuk pengunjung mal untuk mengisi aplikasi kartu kreditnya.

Senjata bujuk rayunyapun seragam, bebas iuran tahunan dan bunganya rendah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang memaparkan bagaimana cara menggunakan kartu kredit yang benar agar tidak terjerat bunga yang tinggi.

Nasabah dari bank lain juga terjerembab dalam kerugian besar akibat aktivitas derivatif bernama foreign exchange forward. Keberanian berbalut dengan bumbu-bumbu spekulatif mendorong manajemen bank itu ramai-ramai menggiring nasabahnya untuk berjudi bahwa rupiah tidak akan tembus lebih dari Rp 10 ribu per dolar AS.

Boediono tegas bersikap. “Bermain dengan instrumen spekulatif bukan wilayah dari bankir. Bank sebaiknya menjauhi kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur bubbles,” kata dia.

Jika kegiatan seperti itu tidak bisa dihindari, lanjut Boediono, sistem pengelolaan risiko yang efektif harus diterapkan. “Pemilihan model bisnis bank menentukan ketahanan sektor perbankan. Dalam krisis yang terjadi saat ini dan krisis sebelas tahun lalu, kita melihat jelas bahwa ketahanan sektor perbankan merupakan benteng pertahanan utama suatu negara terhadap badai keuangan,” lanjut Boediono.

Pernyataan Boediono terakhir ini akhirnya sama dengan kesimpulan Buffett. Derivatif adalah permainan yang membahayakan, karena mengandung unsur ketamakan, keserakahan, sehingga bisa merusak satu sistem ekonomi. Oleh karena itu, perbankan sebagai benteng pertahanan utama suatu negara harus dilindungi dan terbebas dari senjata pemusnah massal bernama derivatif.

Dua Sisi Logam
Permainan derivatif ibarat dua sisi dari logam yang sama. Ketika seseorang mengalihkan risiko dengan membeli produk derivatif pasti ada pihak lain yang menanggung risiko (dirugikan). Lihatlah berbagai contoh di bawah ini soal turunan-turunan derivatif yang disinyalir telah beranak-pinak hingga 35 keturunan.

Pendiri Certified Wealth Managers’ Association Maikel Sajangbati bahkan mengibaratkan ke-35 saudara derivatif itu dengan bertanya kepada penulis. “Anda kenal dengan bibi, paman, dan kakek Anda?.” Saya menjawabnya masih. “Lalu, Anda masih kenal dengan saudara-saudara dari bibi, paman, dan kakek Anda?, Maikel bertanya lagi. “Saya pun menjawabnya masih. Terakhir, “Apa Anda masih mengenal kakak, adik, dan saudara dari kakek Anda?”. “Jelas tidak,” kata saya. Itulah yang disebut 35 keturunan dari produk derivatif. Sulit mengenalinya dan mengenalnya satu persatu.

Kontrak Forward
Produk derivatif pertama dikenal sebagai forward/futures. Kontrak ini melibatkan si pembeli (taker) dan si penjual (writer) untuk menyerahkan suatu “barang” pada masa yang akan datang dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.

Contohnya adalah seorang petani bernama Parjo memperkirakan bahwa dalam 3 bulan mendatang, hasil panen padinya bisa mencapai 3 ton. Namun, sayangnya, harga padi saat ini hanya Rp 750 ribu perton, terlalu murah dari perkiraan sang petani yang yakin harga padinya bisa Rp 1 juta perton dalam tiga bulan lagi.

Oleh karena itu, Parjo pun melakukan transaksi forward/futures dengan koperasi. Dengan perkiraan itu, Parjo telah melakukan kontrak sebesar (3 ton x Rp 1 juta= Rp 3 juta). Pada saat jatuh tempo, ternyata harga padi di luar dugaan Parjo hanya naik menjadi Rp 800 ribu perton. Meski demikian, Parjo masih untung dari selisih kontraknya, yakni sebesar Rp 200 ribu/ton (Rp 1 juta – Rp 800 ribu). Sebaliknya, ketika harga padi melonjak di luar dugaan si Parjo, misalnya menjadi Rp 1,2 juta perton. Si Parjo pun gigit jari, karena dia rugi telak, yakni Rp 200 ribu/ton (Rp 1 juta-Rp 1,2 juta).

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa kontrak derivatif futures itu bertujuan positif, yakni sebagai sarana lindung nilai (hedging). Tapi, apakah memang dalam diri si Parjo tidak ada motif spekulatif. Meski sudah bertahun-tahun menjadi petani dan mengerti pergerakan harga padi, toh, si Parjo suatu saat nanti bisa saja rugi karena ketidaktepatannya dalam memasukkan unsur perubahan cuaca, sehingga harga padi melonjak menjadi Rp 2 juta perton. Si Parjo pun akhirnya rugi besar.

Kontrak Swap
Kontrak derivatif kedua dinamakan swap, yakni kontrak untuk menyerahkan dan menerima suatu barang dengan nilai dan jumlah yang telah ditentukan sekarang. Misalnya, kontrak swap mata uang antara PT A (importir) yang membutuhkan dolar AS dan PT B (eksportir) yang perlu rupiah.

Dengan adanya kebutuhan ini, oleh bank dibuatlah suatu kontrak transaksi derivatif berbentuk swap, yaitu PT A yang memiliki rupiah akan membeli dolar AS milik PT B dengan harga Rp 9.500/dolar AS. Pada saat jatuh tempo, kedua perusahaan itu akan membayar rupiah dan dolar AS dengan harga yang telah disepakatinya tersebut, meski pada saat itu nilai 1 dolar AS mencapai Rp 9.600.

Namun, kembali lagi ke soal risiko. Apakah tidak ada unsur spekulatif di dalamnya. Banyak di antara kita, termasuk dua perusahaan itu, mungkin yakin bahwa nilai tukar rupiah akan selalu stabil pada kisaran Rp 9.000-9.500 per dolar AS sepanjang tahun 2008.

Tidak ada yang menyangka, termasuk pihak bank pun, bahwa nilai tukar rupiah melejit hingga level Rp 13.000 per dolar AS. Bos dari perusahaan B selaku penjual dolar AS pasti mencak-mencak, karena seharusnya dia dapat mengantungi hasil penjualan dolarnya sebesar Rp 13.000. Tapi, karena terikat kontrak swap, dia hanya mengantungi rupiah dengan kurs Rp 9.500 perdolar AS. Dia pun rugi besar dari selisih kurs tersebut.

Tidak mengherankan jika Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Amirudin Saud sampai berteriak-teriak agar Bank Indonesia (BI) dapat mengambil tindakan untuk menyelamatkan dana eksportir yang tersangkut dalam produk terstruktur perbankan. Dia memaparkan, tidak sedikit eksportir Indonesia yang menjadi korban dari salah satu bentuk transaksi derivatif tersebut. Ketika kurs bergejolak mulai Oktober 2008 hingga tembus Rp 13.000/dolar AS, banyak para eksportir yang merugi hingga miliaran dolar AS. “Kerugian kami akibat transaksi derivatif itu sekitar US$ 15-20 miliar,” ungkap dia.

Kontrak Opsi
Opsi merupakan salah satu bentuk surat berharga atau turunan, yakni sebuah kontrak yang melibatkan si pembeli kontrak (disebut taker, mempunyai hak tapi bukan kewajiban) untuk membeli atau menjual instrumen yang menjadi dasar dari kontrak, misalnya saham.

Untuk mendapatkan hak tersebut, pihak taker membayar sejumlah premi kepada si penjual kontrak (disebut writer). Jenis kontraknyapun terbagi dua, yakni call option (hak ke taker untuk membeli) dan put option (hak ke taker untuk menjual).

Untuk memahaminya, bisa diambil kasus Abi yang berencana membeli sebuah mobil merek A. Mobil A itu akan dibeli dua bulan lagi oleh si Abi dengan perkiraan harga Rp 135 juta. Untuk itu, Abi melakukan transaksi derivatif opsi.

Abi pun menyerahkan uang premi sebesar Rp 5 juta. Pada saat jatuh tempo, harga mobil ternyata menjadi Rp 140 juta. Maka, si Abi mempunyai tiga pilihan, yakni pertama, menggunakan haknya untuk membeli mobil tersebut dengan harga Rp 140 juta. Kedua, membatalkan kontrak untuk pembelian mobil, sehingga uang premi Rp 5 juta hangus. Ketiga, membatalkan dan membeli ke tempat dealer lain yang harganya di bawah Rp 140 juta.





0 comments: