Korban-Korban Malpraktik Derivatif (Bagian Empat)

Antara Homo Economicus dan Kacamata Hitam

Banyak orang percaya bahwa manusia adalah homo economicus, yakni dalam tiap tindakan ekonominya, manusia selalu dikendalikan oleh kepentingan pribadi dan pengambilan keputusannya pun dipastikan rasional. Dalam pandangan ini, setiap keputusan yang diambil insan manusia selalu dinilai independen.


Ketika kecil, kita misalnya pernah tergoda membeli pensil di emperan sekolah, karena rayuan sang penjual yang mengeluarkan kata-kata manis bahwa pensil itu harganya murah, namun mereknya terkenal. Kita pun akhirnya tergoda.


Setelah dibeli dan dibawa pulang ke rumah, baru ketahuan bahwa pensil itu gampang patah. Kita pun menangis sekeras-kerasnya karena merasa dibohongi. Namun, orang tua kita terkadang mengeluarkan kata-kata, “Sudah nangisnya, siapa suruh beli pensil murah.”


Setelah dewasa, celutukan semacam itu seringkali masih dilontarkan orangtua, istri, ataupun teman-teman di sekeliling, ketika kita keliru membeli barang elektronika, karena tergoda rayuan manis dari sales promotion girl (SPG) dan akhirnya rusak dalam tempo seminggu. “Siapa suruh beli barang bermerek jangkrik,” demikian lontaran kata-kata tersebut sambil menertawakan.


Mereka umumnya selalu menyalahkan tindakan kita, karena beranggapan keputusan keliru itu adalah keputusan yang dibuat secara otonom. Tapi, mereka tidak menyadari bahwa keputusan keliru itu tidak dibuat secara otonom. Ada faktor yang membelokkannya, yakni kata-kata manis sang SPG. Ya, kesimpulannya, manusia gampang dimanipulasi.


Pemenang Nobel Tahun 2002, Daniel Kahneman dan Vernon Smith berhasil mengungkap fenomena itu dengan memakai pendekatan teori psikologi kesadaran untuk menganalisa aktivitas mikro ekonomi. Kedua ekonom asal Amerika Serikat (AS) itu menemukan bukti kuat bahwa rasionalitas ekonomi insan manusia seringkali mengacuhkan kejadian yang sifatnya tidak pasti berdasarkan hukum kemungkinan (probalitas).

“Mereka juga terkadang tidak mendasarkan keputusannya pada teori maksimalisasi utilitas yang diharapkan,” ujar kedua ekonom itu.


Dalam beberapa studi, Kahneman dan Amos Tversky telah menunjukkan bahwa orang tidak mampu untuk menganalisis situasi pembuatan keputusan yang rumit, ketika konsekuensi masa depannya tidak jelas. Dalam keadaan semacam ini, mereka mengandalkan jalan pintas yang didasarkan pada perasaan atau naluri saja.


Naluri inilah yang mudah dimanipulasi atau mungkin diyakinkan oleh pihak-pihak tertentu bahwa risiko tersebut sebetulnya tidak ada dan terkadang masih bisa ditanggung. Apalagi dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait risiko, individu selalu berdasarkan pertimbangan untung rugi secara sempit.


Contohnya, kita seringkali tergoda oleh tawaran diskon 75% dari suatu produk elektronika dengan iming-iming cuci gudang dan lain-lain. Kita pun rela menempuh jarak yang jauh hanya untuk mendapatkan barang itu. Setelah sampai di toko, seorang SPG baru menginformasikan bahwa stok barang yang didiskon itu hanya lima unit. Betapa bodohnya kita.

Iming-Iming Potensi

Pendiri Certified Wealth Managers Association (CWMA), organisasi profesi di bidang pengelolaan keuangan dengan 2.905 anggota, Maikel Sajangbati menilai, seorang investor bertipe risk averse (menghindari risiko) bisa saja terbujuk untuk meningkatkan skala profil risikonya asalkan mendapat kompensasi memadai (return).


Dia pun buru-buru mengingatkan bahwa tidak ada suatu produk investasi yang menjanjikan keuntungan besar tanpa ada risiko sama sekali. Terkait kasus yang menimpa korban manipulasi Citibank, Maikel melihat ada tiga faktor kesalahan.


Pertama, kualitas relationship manager (RM) Citibank kemungkinan tidak berkompeten dalam menjual produk Lehman Brothers yang berisiko tinggi. Kompetensi ini mengandung tiga unsur, yakni pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kelakuan (attitude). “Solusinya, bank harus memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai. Karyawannya pun jangan pernah bosan belajar,” tutur Maikel.


Faktor kedua, dia melihat adanya praktik misselling, baik disengaja (moral hazard) maupun akibat miskompetensi dari para RM Citibank. Moral hazard kemungkinan dilakukan RM Citibank karena mereka ingin mengejar bonus yang besar dengan mengabaikan integritasnya, sehingga tidak menjelaskan keberadaan risiko produk Lehman.

“Investor harus diberi informasi atas risiko hingga paham dan bukan sekadar tahu saja. Karena antara paham dan tahu bedanya jauh sekali,” urai Maikel.


Dugaan sementara, menurut Maikel, kesalahan RM Citibank lebih disebabkan mereka tidak tahu risiko produk Lehman. “Hanya hakim yang bisa menilai ada tidaknya moral hazard,” tegasnya.


Sebelumnya, salah seorang korban bernama AT secara terang-terangan mengatakan seorang RM Citibank mengatakan kepadanya bahwa kebanyakan rekan-rekannya juga merasa tertipu oleh manajemen Citibank. Selama dilatih, mereka mengaku tidak pernah diberitahu bahwa produk yang dipasarkannya adalah unsecured debt.


“Kami merasa tertipu karena percaya nama besar Citibank. Pada saat menawarkan, pihak Citibank tidak transparan dengan tidak menyebutkan bahwa produk ini unsecured debt. Yang ditekankan kepada kami adalah 100% principle guaranteed,” umpat AT.


Menurut Maikel, tidak banyak investor yang tergolong dalam kategori savvy, rational, atau sophisticated investor. Umumnya investor adalah orang-orang yang memiliki dana tapi tidak punya waktu dan tidak paham soal investasi. Ada juga segelintir investor yang mempunyai waktu tapi tidak paham soal investasi berikut risikonya dan terakhir, tipe investor yang paham tapi tidak punya waktu.

Tips

Agar berbagai kasus malapraktik derivatif tidak terulang, Maikel melihat tiap perusahaan wajib menyediakan pelatihan yang terus-menerus guna meningkatkan kompetensi karyawan yang menjadi ujung tombak pemasarannya. Kedua, perlu dibuat suatu sistem untuk mengecek (customer check) apakah staf pemasarannya sudah benar-benar menginformasikan risiko produknya.


Sedangkan kepada para investor, Maikel menyarankan agar ketika membeli suatu produk investasi, harus benar-benar paham bahwa ada risk and return (risiko dan keuntungan) di dalamnya. “Jika ingin untung 50%, investor juga harus siap rugi 50% juga. Itu namanya toleransi terhadap risiko dan keuntungan,” tutur dia.


Investor juga disarankan untuk memilih RM-RM yang memiliki kredibilitas. Hal ini bisa dilihat dari ada tidaknya sertifikasi yang dimiliki sang RM.


Maikel menambahkan, para calon investor juga harus melihat standard operating procedure/SOP, seperti tujuan investasi, jangka waktu, tipikal/batasan risiko kita, dan mewaspadai bahwa di balik keuntungan yang besar ada risiko besar pula (risk and return).


“Jika ada investor yang naif dan tidak tahu apa-apa, dia wajib minta penjelasan apa risiko dari produk investasi yang ingin dibelinya itu,” kata Maikel.


Terakhir, meski kita udah menjalankan prinsip-prinsip investasi, seperti proses seleksi produk-produk investasi, strategi jangka waktu, memperkecil risiko investasi dengan alokasi aset, selalu ada yang namanya risiko sistemik, seperti perang, inflasi, dan resesi ekonomi. Risiko sistemik ini tidak bisa kita minimalisir.


Yang tidak kalah pentingnya, calon investor juga harus memakai prinsip teliti sebelum membeli. Jangan selalu memakai kacamata hitam ketika membeli produk investasi, karena risiko yang tampak hanya satu warna, yakni hitam.


Selain itu, dalam rangka perlindungan konsumen seperti diamanatkan dalam pilar keenam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Bank Indonesia (BI), Bapepam-LK, dan otoritas sektor keuangan lainnya perlu membuat semacam call center agar calon investor memiliki akses untuk mengecek apakah produk yang akan dibelinya legal atau tidak. Jangan biarkan UFO-UFO (unidentified financial object) bergentayangan lagi dan merenggut korban jiwa.

1 comments:

Anonymous said...

Mas Efendi, congratulations for the excellently-written serial stories on the victims of financial derivatives. Terimakasih banyak.

Best Regards
Vincentius Lingga
Senior Editor, The Jakarta Post
Blog:vincentlingga-columnist.blogspot.com